Mata Air Reti Ahu, Terpelihara Oleh Palotang

oleh
oleh
Mata Air Reti Ahu, Terpelihara Oleh Palotang

Lipatan bukit di Desa Mbatapuhu menjadi pemandangan yang indah bagi para pemburu foto di segala musim. Bila musim hujan, perbukitan menjelma menjadi padang rumput hijau mudanya yang mencolok. Sementara di musim kemarau, orang berburu sunset di hamparan sabana berwarna orange terang saat matahari mulai masuk ke peraduannya. Namun, siapa sangka, di balik keindahannya, masyarakat di Desa Mbatapuhu harus berhadapan dengan berbagai tantangan untuk bertahan hidup di tanah leluhur mereka. Mereka mesti berjuang lebih keras dalam mencukupi kebutuhan makanan dalam keluarganya sedangkan sumber mata air mereka terbatas ditambah lahan yang tertutup batuan keras sehingga sulit diolah.

Di desa yang berjarak sekitar 75,3 km dari pusat kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur ini, masyarakat harus menuruni tebing terjal sejauh sekitar 250 meter untuk sampai ke mata air keramat yang diberi nama Reti Ahu yang berarti Kuburan Anjing ini. Sesampainya di sana, sering kali mereka harus mengantri lebih lama, karena ternyata sudah banyak orang yang juga mempunyai maksud yang sama. Empat tahun sebelumnya saat musim kemarau, bahkan ada yang harus pulang dengan tangan kosong alias tidak membawa air sejerigen pun karena air di mata air tersebut sudah digunakan oleh masyarakat lainnya untuk keperluan rumah tangga atau ternak yang juga datang ke mata air untuk minum.

Baca Juga:  HUT BPJS Kesehatan ke 50 Tahun: KC Waingapu Senam & Jalan Sehat Bersama Bupati & Wakil Bupati Sumba Timur
Mata Air Reti Ahu, Terpelihara Oleh Palotang

Namun, Haing Bara Matolang,53, Ketua RW 03, akhirnya bisa menyaksikan suatu peristiwa yang berbeda. Menurut pengamatannya yang juga disetujui oleh umumnya warga setempat, di dua tahun terakhir ini, saat musim kemarau, mata air Reti Ahu sama sekali tidak berkurang airnya, meskipun sudah digunakan berkali-kali oleh masyarakat di 5 RT yang berjumlah sekitar 100-an lebih kepala keluarga tersebut.

“Kalau kata orang dulu, karena ini adalah mata air keramat, biasanya kalau panen gagal dan terjadi bencana kelaparan maka debit airnya akan meningkat. Tapi jika panen berhasil, airnya pasti akan kurang. Nyatanya, dua tahun ini air tidak berkurang juga tidak peduli seberapa hasil panen yang ada,” jelasnya bersemangat.

Baca Juga:  Yuuk, Skrining Mandiri Covid-19 Melalui Mobile JKN

Haing yang juga merupakan ketua kelompok swadaya masyarakat ini menyadari bahwa peningkatan debit air ini adalah hasil dari kerja keras masyarakat yang selalu rajin dalam mengikuti palotang bersama. Kegiatan ini mendapat dorongan dari Indonesia Rural Economic Development (IRED) yang didanai oleh pemerintah Australia sejak tahun 2015.

Kini, mempertimbangkan debit air yang cukup besar, pemerintah desa bahkan mulai membangun jalur perpipaan desa untuk mempermudah masyarakat mengakses air bersih di rumah-rumah.

“Kita rawat pohon liar sehingga pohonnya jadi tumbuh banyak di sekitar mata air ini. Kita perbanyak jebakan air menjadi 140 lubang. Lalu kita buat larikan, sebar bibit lamtoro supaya pas hujan turun, air bisa tertahan lebih lama di permukaan tanah,” imbuhnya seraya memandangi lamtoro kecil yang mulai tumbuh. Ia mengaku, bibit lamtoro tersebut memang sengaja ia kumpulkan sendiri agar bisa disebar di lokasi palotang.

Baca Juga:  Dengan Adanya Program Rujuk Balik, Agustina Merasa Sangat Nyaman

Sebanyak 30 orang dalam KSMnya aktif terlibat dalam palotang bersama seluas 2 hektar yang berlangsung sebulan sekali ini. Selain untuk merawat mata air, kegiatan ini juga berguna dalam membangun keakraban dan menyebarkan informasi sebab di Desa Mbatapuhu belum ada satupun jaringan untuk komunikasi via telepon.

“Kalau ada orang yang membutuhkan pertolongan dalam mempersiapkan lahan kacang, mereka bicarakan di kegiatan palotang. Begitu pula rencana kita ke depan, seperti misalnya pembuatan pagar pemisah antara lahan pertanian dan pengembalaan, kita bicarakan juga per kepala keluarga harus mengerjakan berapa meter. Lalu, karena ini sudah menjadi kegiatan bersama artinya orang sudah tahu ini kita punya lokasi palotang, maka mereka tidak sembarang potong kayu di sini,” imbuhnya lagi.

Ia menambahkan pelajaran di palotang yang baru saja ia praktekkan adalah pembuatan pupuk organik cair. (Uliyasi Simanjuntak)

Komentar