Menggapai Pembangunan Berwawasan Lingkungan Hidup

oleh
oleh
Deddy Holo

Mengutip cacatan kritis Emil Salim “Mencari Keseimbangan Pembangunan Ekonomi Dengan Lingkungan Hidup”. Pada tahun 1978, untuk pertama kalinya lahir lembaga kementerian negara yang mengurus lingkungan hidup. Banyak orang bertanya apa dan mengapa “binatang lingkungan hidup itu?”

Permasalahan lingkungan hidup mulai ramai diperbicangkan sejak dasawarsa 1950-an dan mencuat tinggi tahun 1972 ketika diadakan konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm. Pada konferensi tersebut diputuskan mendirikan badan khusus PBB untuk lingkungan hidup, yaitu United Nations Environmental Programme (UNEP), yang bermarkas di Neorobi, Kenya.

Perkembangan ekonomi waktu itu tidak menggembirakan sehingga banyak negara yang sejak berakhirnya konferensi PBB mengenai lingkungan hidup (1972) memberi perhatian khusus pada masalah lingkungan, tetapi kemudian menggusurnya ke pinggir karena kesulitan ekonomi.

Indonesia pada waktu itu menikmati hasil kenaikan harga minyak bumi dan ingin memanfaatkannya untuk menggalakkan pembangunan. Tapi serentak dengan itu, terbuka kemungkinan tumbuhnya dampak pembangunan yang negative pada lingkungan hidup seperti di alami banyak negara berkembang pada masa itu.

Perubahan Pola Pembangunan

Pola pembangunan konvensional yang dianut selama itu memang memuat pertimbangan lingkungan. Pembangunan memerlukan sumber daya alam dan manusia yang diolah dalam modal satuan organisasi. Sumber daya alam yang diolah dalam pola pembangunan konvensional diperlakukan terlepas dari keterkaitannya dengan ekosistem yang terdapat dalam lingkungan hidup.

Baca Juga:  Perempuan Sumba Harus Bangkit

Jalan pemecahan utamanya adalah merombak isi pembangunan. Pola pembangunan tidak boleh diarahkan kepada eksploitasi sumber alam secara habis-habisan, tetapi hatus diarahkan kepada pengelolaan sumber alam secara berkelanjutan. Pola pembangunan perlu mengindahkan abang batas yang bila diabaikan akan menjadikan system tatanan lingkungan hancur berantakan. Sumber daya alam perlu dikelola dengan mengindahkan dengan daya dukung lingkungan. Sumber alam diperlakukan sebagai modal pokok tetap utuh terpelihara, dan kita hanya memanfaatkan bunga modal untuk dikonsumsi.

Supaya pembangunan berwawasan lingkungan dapat terlaksana, diperlukan kesadaran dan kemauan manusia untuk mengubah cara-cara pembangunan yang konvensional yang dilakukan selama ini. Yang dibutuhkan adalah orientasi pandangan yang tidak hanya mementingkan kemajuan pembangunan sektoral, tetapi juga memperhitungkan dampak pembangunan terhadap lintas sektoral. Yang diperlukan adalah jangkauan penglihatan untuk hanya tidak mengejar sebesar mungkin kemakmuran generasi masa kini, tetapi juga bagi sebesar mungkin kemakmuran generasi masa depan.

Bagaimana Dengan Sumba Timur Di Mata Pelestarian Lingkungan Hidup?

Mengutip makna dari “Pembangunan Sumba Timur, Mau Ke Mana? Catatan Refleksi Masuknya Investasi Di Sumba Timur (Bagian II)” Oleh Stepanus Makambombu (Waingapu.Com).

Dewasa ini konsep pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan di kabupaten Sumba Timur masih sangat jauh dari upaya pelestarian lingkungan. Jika dilihat saat ini orientasi pembangunan masih pada “ruang hampa”. Kebijakan pembangunan dengan model pendekatan pembangunan ekonomi yang memberikan leluasa kepada arah pasar justru membuka lebar dampak kerusakan lingkungan seperti kebijakan investasi yang selama ini di rasa belum mampu secara maksimal mengentaskan persoalan social ekonomi.

Baca Juga:  Tantang Via Facebook, Deddy Holo Masih Tetap Tunggu Respon Gubernur NTT

Investasi perkebunan tebu yang selama ini menjadi “senjata” kesejahteraan sangatlah kontras dengan keadaan atau fakta yang diinginkan pemerintah selaku pemangku kebijakan daerah. Seperti penjelasan di atas bahwa pembangunan ekonomi perlu mempertimbangkan daya dukung lingkungan hal ini untuk meminilisir gesekan antara pembangunan dan lingkungan itu sendir. Caranya adalah merivitalisasi pembangunan dengan konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Alih fungsi lahan yang tidak terkendali menjadi penyebab “kebangkrutan social dan ekonomi” bahkan yang lebih para adanya “perang” sumber daya alam antara masyarakat dan perusahaan. Data hasil investigasa SABANA Sumba menunjukan adanya tren negatif konflik lahan, lingkungan yang terjadi sejak 2015-2020 dan ini kemungkinan terus berlanjut karena berbagai factor kebijakan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan keselamatan rakyat.

Baca Juga:  KPK Temukan Penguasaan Individu atas Aset Pemkab di Sumba Timur, juga Soroti Pembangunan Tambak Udang

Angka kemiskinan di kabupaten Sumba Timur terakhir dicatat sekitar 31,73 persen, ini angka yang sangat tinggi di daerah yang memiliki potensi SDA yang cukup memadai. Berbagai kebijakan un digenjot untuk menurunkan angka kemiskinan, namun bukannya semakin membaik tetapi menciptakan persoalan baru yaitu konflik agraria dan lingkungan hidup.

Paradigma pembangunan berwawasan lingkungan yang telah dicetuskan dalam konfrensi PBB terasa sangat jauh dari kenyataan yang ada saat ini di era industry teknologi sekarang ini. Pembangunan ekonomi terlalu bermuara pada keuntungan materil sementara sumber daya alam menjadi korban. Inilah mengapa dalam catatan krtitis Emil Salim bahwa pembangunan itu harus “Sadar” artinya bahwa para pemangku kepentingan harus memperhatiakan keberlanjutan ekosistem dalam konteks pembangunan ekonomi.

Melihat persoalan besar Sumba Timur hari ini dalam kacamata pelestarian lingkungan hidup memang belum secara maksimal dilakukan, ini butuh gerakan bersama baik masyarakat dan organisasi pemerintah untuk menggapai pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Caranya adalah membangun kerangka berpikir yang dituangkan dalam kebijakan atau regulasi yang benar-benar mengarah pada konsep pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam momentum pesta demokrasi (Pilkada) para kandidat atau calaon kepala daerah harus mampu memikirkan kerangka kerja strategis yang berwawasan lingkungan. Dengan perkembanagan teknologi informasi masyarakat tidak bisa lagi disuguhkan dengan konsep politik pragmatis, tetapi para kandidat harus berani bersikap pada paradigma politik lingkungan hidup di mana muara pembangunannya pada pelestarian lingkungan menuju pada tatanan masyarakat yang sejahtera dan adil.[*]

Penulis: Deddy Febrianto Holo, Kordinator FP2ST

Komentar