Indonesia sudah memasuki usia yang ke-73 tahun, jika diibaratkan dengan usia seorang manusia maka dia sudah sewasa. Bangsa Indonesia memiliki keberagaman suku, agama, ras, kepercayaan, dan lain-lain. Yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan juga Indonesia kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Teteti kita tidak bisa pungkiri bahwa diusia yang terbilang dewasa namun masih banyak keterbelakangan bangsa Indonesia dari berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, kita masih tertinggal dari segi ekonomi, budaya, politik, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Teriring dari persoalan diatas, bangsa Indonesia dalam perjalanannya tidak terlepas dari dinamika, dialektika, problematika kebangsaan , radikalisme. Terlihat beberapa oknum yang mengatasnamakan salah satu agama, suku atau ras menyebarkan paham primordialis yang sempit. Mereka memprovokasi, menebar kebencian melalui berbagai sarana informasi bahkan terkesan memaksakan kehendak. Tindakan seperti tersebut diatas telah mencemari dan melenceng jauh dari filosofi hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, dan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yaitu “berbeda-beda tetapi tetap satu”, yang berarti bahwa meskipun berbeda agama, suku, ras dan golongan namun merupakan satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana menangkal tindakan tersebut diatas agar persatuan dan kesatuan bangsa tetap terawat? Jawabannya adalah dengan menjaga kebhinekaan yang dimulai dari masing – masing individu. Kebhinekaan harusnya kita pahami sebagai sebuah kekuatan pemersatu bangsa yang keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Kebhinekaan juga harus dimaknai masyarakat melalui pemahaman multikulturalisme dan perlu disyukuri. Di mana bahwa masyarakat harus melihat perbedaan itu sebagai sebuah keragaman yang mempersatukan, menerima perbedaan sebagai sebuah kekuatan bukan sebagai ancaman atau gangguan serta kekayaan dan hadiah yang diturunkan Tuhan bagi bangsa Indonesia. Semua budaya, agama & suku yang ada tetap pada bentuknya masing-masing, yang mempersatukan adalah rasa nasionalisme kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang memiliki ratusan budaya, adat istiadat, dan kebiasaan.
Walaupun sebagaimana kita ketahui negara telah berupaya untuk mempersatukan 700 lebih etnis yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau yang terbentang di Nusantara. Perlu kita ketahui bersama bahwa mungkin hanya Indonesia saja negara di dunia yang memberikan hari libur khusus keagamaan untuk perayaan hari raya keagamaan bagi 6 agama resmi yang diakui di Indonesia. Hal itu menunjukkan nilai pluralisme dan toleransi sudah secara konkrit dan nyata tertanam dalam jati diri bangsa. Namun saying sebagian masyarakat belum cukup menghayati hidup dalam pluralisme sejati di dalam masyarakat yang plural atau multikultur. Dalam hal ini kita tidak perlu lagi mempertanyakan agama, suku, bahasa maupun ras. Namun tanyakan dalam hati kita “Apa yang dapat dan telah kita perbuat untuk bangsa dan negara kita”.
Saya yakin kita tidak menginginkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika hanya dianggap omong kosong belaka atau sekedar semboyan, melainkan harus dihayati, disimpan pada sanubari setiap warga negara Indonesia untuk menjaga persatuan & kesatuan negara. Semboyan bangsa Indonesia memiliki makna yang sangat penting yaitu toleransi dan kesatuan. Pertama, Toleransi dapat mencairkan perbedaan menjadi persatuan sehingga tidak ada perpecahan atau konflik. Kedua, Kesatuan merupakan hal yang harus dilakukan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan dari berbagai macam ras, suku, dan agama.
Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan peran dari semua elemen bangsa untuk menghayati makna dari Sumpah Pemuda 1928 yang sangat merefleksikan semangat pluralisme sebuah bangsa demi mencapai tujuan yang sama. Melihat gejala konflik – konflik horisontal yang terjadi di masyarakat saat ini nampaknya perlu lagi dimaknai oleh seluruh rakyat Indonesia filosofi Pancasila, UUD 1945, Sumpah Pemuda 1928, pelajaran wawasan kebangsaan hingga etika bermasyarakat agar seluruh rakyat Indonesia memahami arti dari perbedaan.
Tepatnya tanggal 23/03/18 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) memasuki usianya yang ke 54 tahun, mengingatkan saya dengan sejarah yang diwariskan oleh pendiri organisasi GMNI 54 tahun yang lalu 23/03/54 dinegeri ini lahir sebuah organisasi perjuangan dan organisasi pengkaderan yang menganut paham pancasila dan marhaenisme atau pancasila is marhaenisme.
Perjalanan bangsa indonesia tidak terlepas juga GMNI banyak berkontribusi buat bangsa dan negara Indonesia tercinta dan melahirkan kader-kader yang memiliki jiwa nasionalisme, dan selalu berada dalam garda terdepan memerangi konflik anatar suku, ras, agama maupun antar individu.
Bagi saya secara pribadi perjuangan kita sebagai bangsa yang besar untuk mencapai kemerdekaan yang sejati yaitu negara yang merdeka dengan mencapai kesejahteraan sosial dan menuju sosialisme indonesia belum selesai, perjuangan kita masih panjang dan butuh kesabaran revolusi untuk mencapainya. beda itu gaya kita, sama itu biasa.
Selamat merayakan HUT GMNI ke 64 tahun, GMNI mengabdi untuk NKRI, maju dan jayalah terus GMNI dan terus eksis di bumi ibu perriwi untuk melahirkan kader -kader yang nasionalis.
Menyulam ke64ngsaan.
Merdeka….!!
GMNI jaya…..
Marhaen…..menang..
Revolusi.. yes…*Rudiyanto Taka Njanji (Kader GMNI cabang Waingapu PPAB angkatan ke-7)