Opini Kompas (12/02/14), menampilkan sebuah paradoks yang sedang terjadi di Indonesia, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,78 persen tahun 2013 tetapi kemiskinan justru bertambah 0,48 juta orang, pengangguran meningkat justru terjadi pada kaum terdidik. Paralel dengan masalah di atas Kompas (03/04/14) merilis hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum mampu menciptakan pemerataan kesejahteraan alias kesenjangan semakin melebar yang ditunjukkan dengan trend indeks gini 0,35 (tahun 1996) menjadi 0, 41 (2011). Studi Perkumpulan Prakarsa pernah menghitung akumulasi kekayaan 40 orang terkaya pada tahun 2008 setara dengan kepemilikan 30 juta penduduk, lalu pada 2011 melonjak setara dengan kepemilikan 77 juta penduduk (Kompas, 12/02/14). Kesimpulan dari fakta di atas bahwa, pertumbuhan ekonomi negara yang terus meningkat ternyata belum berdampak pada membaiknya kualitas hidup masyarakat kebanyakan. Kue pembangunan hasil pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segilintir orang dan pembangunan yang sementara berjalan justru menciptakan kesenjangan sosial (kemiskinan) yang akut dan jauh dari tujuan.
Pada aras regional, publikasi Litbang Kompas (Kompas, 08/03/14) Propinsi NTT mencatat sebagai propinsi yang tergolong ke dalam kelompok paling bawah (termasuk Papua dan NTB) indeks pembangunan manusia (IPM), yaitu 68,28 sementara nasional sudah mencapai 72,77. Rasio efisiensi relatif (RER) penggunaan anggaran (belanja daerah) terhadap indeks kesejahteraan daerah (IKD) termasuk dalam kelompok propinsi yang tidak efisien di Indonesia dalam mengelola anggaran, yaitu 0,96 sementara nasional hanya 0,57 (semakin kecil rasio, semakin efisien). Nampaknya, tingginya RER bisa menjadi penjelas mengapa IPM kita rendah berarti ada masalah (tidak efisien) dalam alokasi belanja terhadap sektor-sektor pembentuk IPM seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Lantas bagaimana pada aras Kabupaten Sumba Timur? Tidak jauh berbeda, masalah kemiskinan menempatkan Sumba Timur berada dalam kelompok kabupaten dengan jumlah penduduk miskin tinggi di NTT, secara absolute berjumlah + 71,54 ribu orang, demikian hal dengan IPM berada di kelompok IPM terendah, yaitu, 63,3 sementara IPM NTT sudah mencapai 68,28. Pada satu sisi, ada kabar gembira tingkat kemiskinan menurun dari 82,3 (2005) menjadi 71,54 (2011). Pendapatan perkapita mencapai 7,6 juta/tahun di atas rata-rata NTT yang hanya mencapai 6,7 juta/tahun. Pada sisi lain, mirisnya, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan semakin tinggi. BPS NTT (2013) merilis, indeks kedalaman kemiskinan di Sumba Timur tertinggi di NTT mencapai 6,93, sementara secara Propinsi NTT hanya 3,47 dan indeks keparahan kemiskinan juga tertinggi di NTT mencapai 2,35, sementara secara Propinsi NTT hanya 0,91. Merujuk pada publikasi BPS NTT, makna dari kedua indeks ini mengonfirmasi kepada publik bahwa pengeluaran penduduk miskin per orang/bulan di Sumba Timur berada jauh dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar Rp. 252.476 dan ini terjadi pada semua populasi penduduk miskin terutama di wilayah perdesaan. Bayangkan, jika Anda sebagai pegawai negeri sipil atau pegawai swasta apa yang bisa Anda belanja dengan uang sebesar itu untuk kebutuhan per bulan? Mungkin hanya cukup membeli beras untuk dimakan setengah bulan bahkan kurang, bagaimana untuk belanja lauk pauk, belanja kesehatan dan pendidikan, pasti tidak ada dalam pikiran saudara-saudara kita yang termasuk dalam kelompok ini.
Pertanyaannya, mampukah kita memperbaiki sejumlah indikator kesejahteraan di atas? Kita harus optimis bahwa kita bisa, karena ini hanya soal bagaimana mengelola sumber daya secara berkeadilan. Pemilu legislatif menjadi salah satu jalan keluar, tetapi ada syaratnya, sebagai pemilih kritis kita harus bisa mengirim wakil-wakil rakyat terbaik di lembaga legislatif. Lembaga ini memiliki kewenangan yang sangat besar dan penting dibidang legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Berbagai keputusan politik penting terjadi di lembaga yang terhormat ini, eksekutif hanya menerjemahkan keputusan politik dalam bentuk kebijakan publik. Sebab itu, jika proses memproduksi keputusan politik oleh lembaga legislatif bermasalah karena diproses oleh wakil rakyat yang tidak kredibel, maka kebijakan publik yang akan dieksekusi pasti bermasalah!
Sembilan April 2014 tersisa dalam hitungan jam, Anda-Anda sebagai kandidat legislator untuk aras kabupaten, propinsi dan pusat, adakah imaji Anda berpaut pada indikator-indikator kesejahteraan di atas? Sejauh mana daya tanggap Anda ketika berdialog dengan konstituen? Saya yakin jika Anda turun ke bawah Anda bisa melihat kebenaran indikator ini di pelosok-pelosok desa, jika tidak silahkan membuktikan dengan argumentasi berbasis bukti juga!! Sudahkah Anda berdialog dengan nurani Anda sendiri, apa konsep yang Anda tawarkan sebagai rencana desain keputusan politik mengatasi hal-hal di atas? Sedihkah Anda ketika melihat kondisi konstituen yang hidup dalam kemiskinan dan tidak terdidik secara politik? Atau diam-diam Anda tersenyum sambil berguman dalam hati, ini dia sasaran empuk melakukan transaksi politik “jahat”, yaitu dengan membeli suara mereka mulai dari strategi serangan fajar sampai pada tahapan-tahapan penghitungan suara.
Lantas, bagaimana kita sebagai warga pemilih yang punya hak suara? Kita butuh calon legislator (DPRD Kab, DPRD Prop dan DPR) yang memahami kompleksitas masalah di atas dan tidak hanya paham tetapi mau bersuara “keras” guna mendorong sebuah discourse bermutu dan kritis antara legislatif dan eksekutif guna menghasilkan keputusan-keputusan politik yang bisa mengurai kompleksitas masalah di atas menjadi langkah praktis-strategis (kebijakan publik) yang mampu “menyerang” akar-akar kemiskinan yang sedang dialami secara lokal, regional dan nasional.
Sebagai warga pemilih kita tidak butuh seorang calon legislator harus yang berpengalaman, tidak ada bukti yang cukup meyakinkan seorang legislator yang puluhan tahun duduk sebagai wakil rakyat mampu mempengaruhi dan mendorong lahirnya kebijakan publik yang pro pada masalah-masalah kepublikan, yang terjadi, justru pro pada clientalis (jaringan politik, ekonomi, dan kekuasaan). Tidak signifikan mematok pengalaman sebagai patron memilih kandidat legislator. Apa manfaatnya memiliki seorang calon legislator berpengalaman jika praktik yang dilakukan justru mendorong keputusan politik pada kepentingan pribadi dan jaringannya. Tetapi kita butuh calon legislator yang kendatipun belum berpangalaman namun memiliki rekam jejak teruji di mata publik.
Sebagai warga, kita juga tidak butuh calon legislator yang tidak jelas prestasi sosialnya selama ini namun tiba-tiba muncul, ingat lembaga legislatif bukan lembaga tempat mencari pekerjaan. Budayawan Radar Panca Dahana (Kompas, 03/04/14), mengajukan sebuah pertanyaan dasar “berdasarkan prestasi sosial apakah hingga Anda merasa pantas mengajukan diri menjadi wakil sekelompok masyarakat” tetapi yang kita butuh adalah calon legislator yang memiliki rekam jejak prestasi sosial, sekecil apapun itu yang penting dia sudah melakukan sesuatu yang berarti bagi kelompoknya, dan Pemilu sebagai media untuk meraihkan kesempatan memperluas manfaat prestasi sosialnya. Mari beri dia ruang untuk memperbesar prestasi sosialnya pada arena yang lebih luas, prestasi sosial yang telah dimiliki merupakan modal yang bisa diakumulasi dengan pengalaman-pengalaman baru yang akan diperoleh ketika duduk sebagai legislator.
Sebagai warga, kita juga tidak butuh calon legislator yang memboncengi romantisme masa lalu, mendorong publik pada ingatan-ingatan masa lalu terhadap jasa dan perannya (sebagai pribadi maupun kelompok) kemudian mengeksploitasi ingatan-ingatan masa lalu publik untuk di barter dengan suara, faktanya, dalam keseharian “ada jarak” sosial yang cukup jauh antara sang calon dengan publik dan hanya “mendekat” ketika butuh suara. Tetapi kita butuh calon legislator yang kendatipun memiliki jarak sosial dengan publik namun publik tahu apa yang dia kerjakan selama ini untuk kemaslahatan banyak orang dan sekarang saatnya untuk membawa langsung suara-suara publik untuk diartikulasi melalui keputusan politik yang kemudian menjadi kebijakan publik.
Sebagai warga, kita tidak butuh calon legislator yang “vocal” mempengaruhi kebijakan publik jika hanya menghasilkan kebijakan publik yang bermuara pada kepentingan kelompoknya (elit politik, ekonomi dan kekuasaan). Ke-vokal-annya sekadar strategi persiapan jalan agar bebas melakukan pembajakan kebijakan publik (state and elite capture). Tetapi kita butuh calon legislator “vocal” yang didorong oleh motivasi tanggugjawab sosial yang tulus (genuine) yang berani mempengaruhi eksekutif merubah paradigma pengelolaan anggaran daerah dan negara yang selama ini lebih banyak melayani kepentingan birokrasi dari pada melayani kepentingan publik sehingga pemanfaatan sumber daya lebih efisien untuk program-program yang mampu mempersempit kesenjangan sosial yang semakin lebar. Dengan cara ini keterwakilan Anda akan bermakna bagi konstituen dan lebih jauh bagi kualitas demokrasi pada aras lokal, regional dan nasional. Selamat menjawab, merenung dan menentukan pilihan.[*]
*] Stepanus Makambombu, Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan UKSW