Umumnya pulau-pulau terluar meyimpan eksotisme panorama alam pantai yang luar biasa. Ya! Pulau Salura salah satunya. Berada di bagian selatan Pulau Sumba-NTT. Rupanya Pulau Salura langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar berpenghuni yang berbatasan langsung dengan negara Australia. Kurang lebih berjarak 800 mil ke perbatasan wilayah laut Negeri Kanguru.
Mungkin terdengar asing di telinga sejumlah warga negara Indonesia. Tak heran karena pulau ini bagi kebanyakan orang jarang dikunjungi bahkan bagi orang Sumba sendiri.
Dari Waingapu ibu kota kabupaten Sumba Timur (Sumtim), kita membutuhkan waktu kurang lebih lima jam perjalanan darat dengan menggunakan kendaraan carteran menuju pantai Katundu yang merupakan tempat penyeberangan menuju Pulau Salura.
Perjalanan darat dapat menggunakan kendaraan carteran dengan tarif hampir 800 ribu hingga 1 juta rupiah sekali jalan. Tarif tersebut cukup dimaklumi karena kondisi jalan dengan aspal yang mulai terkelupas dan medan perjalanan yang harus naik turun gunung.
Namun tak perlu merasa risau karena sepanjang perjalanan keindahan padang savana, dengan bukit dan lembah yang tak kelihatan ujungnya akan menjadi sajian yang selalu disuguhkan. Belum lagi batu-batu megalith sebagai penghias makam warga di setiap perkampungan.
Namun tak hanya menggunakan kendaran carteran, kita juga bisa menggunakan kendaraan angkutan umum dengan biaya kurang dari 100 ribu rupiah. Bedanya perjalanan akan terasa lebih panjang durasinya dan tentu kita harus mengakrapkan diri dengan suasana saling berdesakan dengan penumpang lain mengingat minimnya transportasi.
Setelah tiba di pantai Katundu, kurang lebih membutuhkan waktu satu jam lagi menggunakan kapal motor kayu milik warga, untuk sampai di Pulau Salura. Jadi waktu tempuh keseluruhan mencapai 6 jam dari kota Waingapu.
Di pantai Katundu ini juga menjadi pasar mingguan bagi warga di Katundu dan Salura. Sekali seminggu biasanya dua buah kapal motor dari Pulau Salura menyeberang ke pantai ini membawa warga untuk berbelanja kebutuhan pokok. Biasanya penyeberangan dilakukan pada setiap hari selasa dengan tarif 10 ribu rupiah sekali berangkat. Namun bila bukan hari pasar maka tarif mencapai 250 ribu sekali jalan.
Ganasnya ombak pantai selatan ini mungkin yang menjadi penyebab Pulau Salura ini jarang dikunjungi. “Bismillah Rahmani Rahim”, “Tuhan Yesus lindungi kami” kalimat itu menjadi salam khas pembuka ketika menaiki kapal motor ke Pulau Salura bagi yang takut mati diterjang ombak laut dan yang mempunyai kemampuan renang “gaya batu alias timah pukat”. Namun tidak bagiku karena mataku tertuju pada sebuah jerigen kosong di atas perahu motor.
Transportasi yang hanya menggunakan kapal motor kayu berkapasitas kurang lebih 20 penumpang memang sangat mencemaskan. Pantai Katundu dipilih karena aman dari ombak tinggi sehingga menjadi tempat berlabuh kapal-kapal motor penumpang dan nelayan. Namun kapal motor penumpang ke Pulau Salura akan berhenti beroperasi ketika musim barat tiba pada bulan Desember hingga bulan April tahun berikutnya.
Kecemasan akan hilang ketika pesisir pantai Pulau Salura mulai terlihat, kita disuguhi jernihnya air laut dan gradasi warna biru yang mempesona. Pasir putihnya sungguh menggemaskan diapit cemara-cemara pesisir sebagai tempat berteduh dan bersandarnya perahu-perahu nelayan. “Alhamdulilah dan Puji Tuhan,” sontak terucap(bersambung)