Waingapu.Com – Masyarakat Hukum Adat kini tak bisa disangkali terdesak oleh modernisasi dan globalisasi yang rodanya kencang berputar. Kadang menggilas atau paling tidak menyerempet hak dan nilai-nilai adat yang ada. Tidak banya yang bisa dilakukan masyarakat adat, selain berupaya semaksimal mungkin bertahan, padahal elemen inilah yang dulunya menjadi salah satu atau cikal bakal lahir dan tumbuhnya negara yang kini dikenal global bernama Indonesia. Diskusi Konsorsium Tana Wai Maringi seputar masyarakat adat dan upaya untuk mendapatkan pengakuannya di Kabupaten Sumba Timur, NTT, di gelar santai namun tak bisa disepelekan bobotnya beberapa pekan silam di Kantor KOPPESDA, Kampung Arab, Kota Waingapu.
“Saya tertarik dengan tulisan Pak Tobias Messakh, dia bilang kita harus periksa baik-baik Sumba. Jangan sampai orang Sumba itu tidak cinta adat dan budayanya sebenarnya. Sumba itu beruntung karena kolonialisme lambat masuk. Berbeda dengan Flores, yang lebih cepat masuk sejak Abad 16,Timor juga demikian. Kalau kita lihat saudara kita di Flores ada yang namanya berbau Portu begitu juga Timor Barat dan Timor Timur. Berbeda dengan kita di Sumba yang miliki nama-nama khas. Dari ini kata dia bisa dilihat dan dicermati bahwa jangan-jangan Sumba ini bukan cinta budayanya tapi hanya karena kolonialisme lambat masuk dan tidak mencengkeram wilayah ini sama dengan saudara lainnya di NTT ini. Ini jadi bahan untuk bahan refleksi kita,” papar Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur WALHI-NTT dalam diskusi kala itu.
![](https://www.waingapu.com/wp-content/uploads/2022/08/umbu_wulang.jpeg)
Lebih lanjut putera sastrawan legendaris, Umbu Landu Paranggi itu menguraikan, masuknya kolonialisme di Sumba, sudah lebih kental misi dagangnya dan bahkan konsepnya penyebaran agama oleh para misionaris.
“Dalam konteks hari ini kita bisa lihat bahwa apa yang dikatakan Tobias Messakh itu bisa jadi betul. Kalau kita melihat karakter kita hari ini terkait dengan tidak adanya kecenderungan-kecenderungan kolektif dari Pemimpin Pemerintah untuk bicara tentang ini. Kalau saja kolonialisme itu sama cepat masuknya dengan Flores dan Timor bisa saja kita ini sekarang ada yang nama belakangnya Augusto, de Fretes, dan bukan nama-nama khas Sumba,” urai Umbu Wulang.
Karena itu, saatnya kini kata Umbu Wulang untuk ragam komponen yang peduli tentang pelestarian adat dan budaya Sumba, sama-sama mendorong agar di Sumba Timur ini bisa melahirkan Perda Masyarakat Adat.
“Kita sama-sama dorong dan berharap pemerintah dan DPRD bisa bersinergi untuk melahirkan Perda tentang Masyarakat Adat. Di Flores sana yang justru kolonialismenya lebih cepat masuk dibandingkan dengan kita di sini justru sudah ada Perda tentang Masyarakat Adat, di Ende dan Manggarai Timur, bahkan di Manggarai Timur sudah pula ada Perda yang mengatur tentang penyelesaian sengketa adat,” pungkasnya.
Umbu Wulang bahkan mengeluarkan ‘tantangan’ bagi desa defenitif yang telah ada, jika memang merasakan bahwa wilayah dan warganya sangat menjunjung tinggi adat dan budaya, untuk mengusulkan diri berubah status menjadi Desa Adat.
Dalam diskusi yang juga dihadiri oleh beberapa pegiat LSM itu dan akademisi itu, bersama ‘mengulik’ tentang masyarakat adat, desa adat dan haknya juga kewajiban Negara dan Daerah memperlakukannya.
![](https://www.waingapu.com/wp-content/uploads/2022/08/mbuh.jpeg)
Umbu Pajaru Lombu, Dosen dan Ketua Prodi. Hukum Universitas Kristen Wira Wacana (Unkriswina) Sumba, yang hadir mewakili akademisi mengkritisi eksekutif dan legislatif di Sumba Timur. Menurutnya, kedua elemen itu kurang memahami atau mungkin sengaja tidak tahu tentang peran dan fungsinya dalam memperlakukan eksistensi masyarakat adat dan hak-hak mereka.
“Kita sama-sama untuk memperjuangkan pengakuan dalam bentuk Perda tentang masyarakat, kita dorong pemerintah dan DPRD untuk mewujudkannnya. Untuk mempercepat itu, kita berikan pokok-pokok pikiran dan konsep kita yang selama ini kita diskusikan kepada mereka,” tandas Umbu Pajaru.
Menanggapi pertanyaan unsur jurnalis yang hadir dalam diskusi itu perihal elemen apa yang paling dimungkinkan untuk diwujudkan menjadi desa adat? Umbu Pajaru, yang merupakan Master Hukum di Kampus terbesar di Pulau Sumba itu spontan menjawab Paraingu.
“Saya kira elemen yang perlu kita dorong untuk kalau kita mau kembali menjadi desa adat adalah Paraingu atau nagari atau desa disebutkan di tempat lain. Di dalamnya ada beberpa Kabihu, juga Marapunya masing-masing. Seperti halnya di Tanggedu misalnya ada Kabihu Karunggu Watu dan lainnya. Paling tidak kalau kita mau dorong menjadi desa adat, misalnya Tanggedu yang hingga kini belum juga ada kejelasan terkait pemekarannya dari desa Induk, itu menurut saya. Tapi yaa nama desa adatnya tidak lagi Tanggedu tapi nama lainnya sesuai dengan kesepakatan sesuai adat dan tradisi setempat,” paparnya.
Sebelumnya Umbu Pajaru memaparkan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Sumba Timur yakni Persekutuan hukum menurut “Paraingu” (negeri – desa), Persekutuan hukum menurut “Kabihu” (suku – marga) dan Persekutuan hukum menurut “Marapu” (leluhur-dewa).Juga diuraikan tentang faktor-faktor yang menghambat ekssitensi Masyarakat adat dan masyarakat hukum adat diantaranya, masyarakat dan Pemerintah masih selalu dibanyangi kekuasaan Swapraja, Multitafsir pengertian Masyarakat Adat yang ada dalam peraturan perundang-undangan serta Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam merumuskan siapa Masyarakat hukum adat di daerahnya.
Tak hanya itu, Umbu Pajaru dalam diskusi yang dipandu oleh Triawan Umbu Uli Mehakati dan Deny Karanggulimu itu juga diungkapkan sejumlah permasalahan masyarakat hukum adat di Sumba Timur. Dimana masyarakatAdat Sumba tidak mendapatkan posisi yang kuat untuk memperhanankan hak ulayat dan hak-hak tradisionalnya. Yang mana ditandai dengan Negara melakukan pengambilalihan atas tanah adat/ulayat untuk ditetapkan sebagai tanah liar dan pemerintah berasumsi bahwa tanah dikuasai oleh negara yang diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan. Juga Negara melakukan pengambilalihan atas hutan adat untuk di tetapkan menjadi kawasan hutan dan peruntukkan lainnya serta Masyarakat adat mengalami intimidasi, penganiayaan dan perlakuan diskriminatif dari aparat penegak hukum karena mempertahankan hak-hak tradisionalnya. (ion)