Semarak Karnaval, Dari Keceriaan Hingga Spirit Skuad Orange Waingapu

oleh
oleh
Saya Pancasila

Waingapu.Com – Semarak karnaval di Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim) NTT, menjadi rutinitas tahunan. Sekalipun atraksi dan sajian yang disajikan bak menjadi rutinitas tahunan, namun tetap dirindukan peserta juga masyarakat yang datang menontonnya.

Setiap tahunnya, dentuman durm band, mulai dari yang menghasilkan irama yang kompak serasi, hingga yang kompak memperdengarkan suara yang ibarat eksperimen mencari nada-nada atau ketukan baru.

“Yang penting anak-anak senang, selama ini mereka sudah latihan tiap hari, sekarang mereka bisa pakai seragam drum band, pukul salah-salah juga tidak apa-apa,” kata seorang ibu yang menemani puteri kecilnya, peserta karnaval dalam tim drum band sebuah Taman Kanak-Kanak, Senin (14/08) sore kemarin.

“Kalau saja boleh kita pegang pinggangnya bagus ee, jadi bisa goyang sama-sama. Mantap goyang ngebor dan goyang itiknya,” ujar seorang pemuda yang seakan diamini rekan-rekannya dengan senyuman dan tawa, kala menyaksikan sejumlah atraksi mayoret dari pelajar SMP hingga SMA yang berusaha memberikan hiburan segar pada para penonton, sekalipun berimbas munculnya fantasi-fantasi ‘liar’ penonton.

Baca Juga:  Komunitas Ana Humba Beri Donasi Di Pinu Pahar

Namun tak sedikit punya kekaguman dan apresiasi positif yang dialamatkan pada para peserta karnaval. Tak hanya langsung dinyatakan di sisi jalan, bergumam sembari memotret obyek yang dirasa menarik, hingga menguploadnya ke aneka medsos popular saat ini.

“Selalu berbeda tiap tahunnya, sangat kreatif. Ini yang bisa menjadi contoh bagi yang lainnya agar selalu menampilkan hal-hal baru dalam karnval tanpa menepikan kebanggaan dan kekhasan Sumba,” komentar salah seorang penonton kala menjadi saksi sajian SMP Satap Pada Dita.

“Ini busana kami siapkan dan konsepnya terhitung dadakan, tidak lebih dari satu minggu. Tapi bangga bisa berikan tampilan yang berbeda dan menarik. Ada pesan yang bisa ditampilkan dari apa yang kami sajikan, itu yang terpenting dan yang berusaha kami tampilkan,” jelas Berto Ben Saru, seorang guru di SMP Satap Pada Dita yang mendampingi anak-didiknya, bersama rekan gurunya dalam karnaval kemarin.

“Ini sebenarnya tersirat pesan bahwa walaupun kita bangsa Indonesia berbeda-beda suku dan agama serta perbedaan lainnya namun kita harus tetap satu dan bangga menjadi Indonesia. Karena itu selempang ini bertuliskan saya Indonesia,” urai Grace Miliara, siswi SMP Satap Pada Dita yang mengenakan busana unik, tetap berbahan dominan kain tenun khas Sumtim, namun dimodifikasi busananya dengan beberapa akesorisnya.

Baca Juga:  Pasca Diangkat Jadi PTT, 442 Guru Honorer Di Sumba Timur Diharapkan Tingkatkan Etos Kerja

“Pancasila menjadikan kita satu dalam perbedaan, cinta dan bangga jadi Indonesia, yaa harus pula cinta dan bangga dengan Panca Sila,” kata Selvia Adinda, juga siswi SMP satap Pada Dita yang dengan busana uniknya tetap menonjolkan selempang ‘Saya Pancasila’.

Keriuhan, kemeriahan karnaval sore kemarin, meninggalkan kesan dan suka cita bagi aneka kalangan. Namun juga menjadi arena untuk para anggota Skuad Orange (Pasukan oranye) menegaskan pengabdiannya. Aneka sampah yang didominasi sampah plastik, dengan setia dipungut pada rute yang dilalui peserta.

Pasukan OrangeTak ada keriuhan, sorakan dan tepukan tangan, langkah mereka tetap berderap, sekejap melangkah, sekejab merunduk memunguti sampah. “Dari sekian banyak peserta karnval hari ini, mereka ini yang paling banyak menarik perhatian saya, mereka dibarisan paling akhir dan selalu luput dari perhatian. Tapi kehadiran mereka sangat berdampak bagi kota ini. Bravo pasukan oranye DLH Sumtim… Kami bangga!!!,” postingan akun Face book Ivin Ringu dalam statusnya, diantara banjiran status dan postingan kemeriahan dan foto selfie mempesona para peserta dan penonton karnaval.

Baca Juga:  Paskibraka Sumba Timur Dikukuhkan Bupati, Bendera Raksasa Diserahterimakan

Spirit pasukan oranye, adalah spirit penegasan bahwasanya, di alam kemerdekaan ini, warga Waingapu ternyata masih terbelenggu penjajahan, belenggu yang terdiri dari mata rantai perilaku buruk, minim kesadaran untuk menjadi manager dari sampah yang dihasilkan. Niscaya beban para pasukan oranye akan turut diringankan, jika saja sampah yang dihasilkan dibuang pada tempatnya atau dibawa pulang peserta dan penonton karnaval. Pasukan oranye , seragamnya gemerlap, namun minim apresiasi, mereka tidak ada dalam barisan peserta. Akankah hari berikut beban kerja mereka makin berat ataukah lebih ringan? Sang Waktu punya jawabannya.(ion)

Komentar