Spiritualitas Nusantara

oleh
oleh

Sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia, Indonesia sampai saat ini berhasil menjaga statusnya sebagai negara multiagama. Meski dalam usaha mempertahankannya, masih kerap terjadi pertikaian berlatarbelakang masalah agama. Konflik horizontal sering dipicu ulah pemeluk agama yang kurang, bahkan tidak memiliki spiritualitas yang terkandung dalam agamanya. Hal ini sangat disayangkan, karena sesungguhnya spiritualitas adalah dasar peradaban Nusantara, bahkan jauh sebelum agama beserta semangat religiusitas memasuki insan se-Tanah Air.

Religiusitas memiliki sifat terikat pada kata dasarnya, religi atau agama. Artinya, religiusitas seseorang akan bergantung sepenuhnya terhadap agama yang dianutnya. Religiusitas seperti tercermin dalam tindak-tanduk para pemeluk agama, memiliki kecenderungan untuk membatasi manusia dengan seperangkat aturan dan normanya. Religiusitas juga berfokus pada acara-acara ritual yang membangkitkan sisi konformis manusia. Para pemeluk religi patuh secara kompulsif melakukan tradisi keagamaan yang hidup di lingkungannya. Ada rasa bersalah dan takut jika tidak melakukannya.

Ritual agama beserta rasa obligasi yang mengikutinya kemudian menjadi sasaran ekspoitasi para oportunis agama. Tanpa mengindahkan nilai-nilai positif universal, para oportunis mulai memodifikasi nilai dalam ritual religi demi kepentingan pribadi atau kelompok. Perilaku agresif yang mencederai kemajemukan bermasyarakat dijustifikasi kebenarannya atas perintah agama. Kepentingan politik ditopengi dengan bendera keagamaan demi mendatangkan relawan, bahkan militan untuk menjadi pelaksana kepentingan. Pendidikan keagamaan sejak dini hingga dewasa, sering dikendarai dengan dogma dan doktrin yang irelevan dan makan untung sendiri. Masyarakat diperah perekonomiannya atas nama tradisi keagamaan demi mendatangkan kesejahteraan kalangan tertentu. Agama yang sendiri bertujuan agar publik ‘tidak kacau’, malah sering menjadi biang kerok kekacauan yang merusak harmoni kehidupan.

Baca Juga:  Reformasi Ulayat Dalam Prespektif Marga Lukuwalu

Di sisi lain, spiritualitas bersifat dinamis dan tidak mesti melekat pada satu agama tertentu, meski tetap berlandaskan kepercayaan pada satu Entitas Yang Maha Kuasa. Dalam spiritualitas, manusia mempercayai bahwa keseimbangan hubungan dengan sesama dan lingkungan adalah kunci dari kehidupan. Proses spiritualitas mendorong seseorang untuk mengambil yang secukupnya dari apa yang sudah disediakan alam baginya. Kebebasan ekspresi tanpa terikat ritual yang terkandung dalam spiritualitas, mampu membuat seseorang mempraktikkan nilai-nilai positif universal tanpa harus ada kecemasan. Apa yang disebut Carl Rogers (tokoh Psikologi) sebagai unconditional positive regard atau penghargaan tanpa syarat, menjadi fondasi hidup seseorang dengan spiritualitas yang tinggi.

Nusantara sendiri selama berabad-abad lamanya telah memelihara adab spiritualitas yang luhur. Aktualisasi spiritualitas tersebut bersifat unik sesuai dengan daerah masing-masing. Baduy Dalam di Banten menghormati Batara Tunggal sebagai satu kuasa, dengan mempraktikkan pikukuh karuhun (ketentuan leluhur) yang bercirikan keseimbangan dengan alam. Masyarakat Dayak di Kalimantan menghormati Sang Khalik dengan pengolahan lahan tanpa penebangan hutan serta perusakan lingkungan. Hidup menyatu dengan alam juga tercermin pada praksis hidup masyarakat Anak Dalam di Jambi dan Boti Dalam di Timor.

Baca Juga:  WALHI NTT: Lemahnya Penegakan Hukum di Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Hadapi Tiga Masalah Serius

Selanjutnya, spiritualitas luhur dalam menjaga kesinambungan hubungan dengan sesama bisa ditemukan pada tradisi ‘poka sawar limbang sama’ di Manggarai Timur. Eksplorasi harmoni demi menemukan jati diri sudah dikembangkan oleh Ki Ageng Suryamentaram di Jawa. Spirit keseimbangan juga tercermin pada prinsip didikan gubahan Ki Hadjar Dewantara, yakni guru harus menjadi contoh, memotivasi dan mendukung murid. Sistem ini yang kemudian tertuang dalam kalimat yang menjadi roh pendidikan Indonesia sampai detik ini, “ing ngarso sang tulada,” “ing madya mangun karsa” dan “tut wuri handayani.”

Berkaca dari kekayaan spiritualitas lokal tersebut, nilai dan norma keagamaan serta semangat religiusitas seharusnya berosmosa dengan adat setempat demi menciptakan ketenteraman spiritual. Kesinambungan nilai dan religiusitas dengan spiritualitas akan mengajari kita agar tidak serakah dalam dunia. Kita akan mengambil kekayaan alam secukupnya untuk memenuhi kebutuhan, dan menghidupkan sumber daya alam lain sebagai substitusi. Kita pula akan mengutamakan kemaslahatan umum di atas pribadi dalam berkarya dan berkontribusi di dunia. Rasa konservasi, solidaritas dan gotong royong akan kembali menjadi jati diri spiritualitas Nusantara.

Baca Juga:  Esok Temanku Akan Diwisuda, Aku???

Spiritualitas Nusantara ini yang akan menjadi tali pengikat primordial bangsa kita yang kebersamaan dan sinerginya sulit diputuskan. Ia akan hidup kuat dalam kehidupan masyarakat kecil, tidak mudah goyah oleh ancaman pemecah persatuan bangsa, tidak oleh dampak konflik Israel-Palestina, bahkan oleh ISIS sekalipun.[*]

*] Indra Yohanes Kiling, S.Psi., M.A. Ilmuwan Psikologi, Dosen FK Undana, Co-founder Komunitas Penelitian BUNGA

Komentar