Waingapu.Com – Setiap musim kemarau dan juga menjelang musim penghujan aktifitas membuka lahan baru ataupun untuk mendapatkan tunas rerumputan hijau segar menjadi salah satu alasan penggunaan api dibalik aksi pembakaran rerumputan dan padang. Namun sayang, jika sudah tak terkendali, dan juga faktor angin kencang yang acapkali terjadi berimbas pada meluasnya areal pembakaran yang justru kadang tak terkendali. Belum lama ini, tepatnya Selasa (10/09) lalu, lima unit rumah di dusun Menggitimbi, Desa Palakahembi, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim) NTT, menjadi debu. Lima unit rumah sederhana warga, yang selama ini menjadi tempat suka dan duka terbangun bersama keluarga, tak kuasa melawan amukan ‘si jago merah’ yang menunjukan keperkasaannya, dimana diawali dari terbakarnya padang.
Nada prihatin bahkan kecaman dan kutukan terlontar dari tuturan di beberapa kesempatan diskusi warga, juga tentunya di jagad maya semisal jejaring pertemanan atau media sosial terpopuler facebook (FB). Ibarat nasi sudah menjadi bubur, atap dan dinding telah jadi debu dan puing, maka seruan untuk stop alias berhenti membakar padang terus membahana.
Harapan agar bara prahara yang terjadi siang itu tepatnya di RT 19/RW 06 Dusun Menggitimbi, Desa Palakahembi, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT, yang membuat lima unit rumah hanya sisa debu dan puing pasca hangus terbakar api menjadi yang terakhir. Rumah Lasarus Lapu Rohi, Oktavianus Gia, Leonard Lodo, Bendelina Tudu Dara Para, yang telah jadi puing dan debu adalah layak menjadi warning betapa ganasnya dampak pembakaran padang yang tak terkendali tatkala ‘si merah’ tak terbendung amukannya.
Perlatan yang minim, ditambah angin yang berhembus kencang, membuat api merambat dari rerumputan ke pohonn tuak/lontas dan juga kelapa, lalu bunga-bunga apinya terbang dan menimpa rumah-rumah warga yang juga berdaun lontar sebagai atapnya. Kepada wartawan, Agustinus Mangi selaku Ketua RT 19/RW 06, Dusun Menggitimbi, Desa Palakahembi, menuturkan hal itu sembari menyebutkan api bersumber dan berawal dari Hepa, suatu lokasi di dusun itu.
“Rumah pertama yang terbakar milik Oktavianus Gia. Kemudian api merambat lagi ke padang, kemudian karena angin kencang, warga tidak bisa lawan dan padamkan api. Saya hanya mintaa setiap masyarakat yang punya rumah daun lontar, jaga rumahnya masing-masing jangan sampai merambat lebih jau,” urai Mangi.
Api yang cepat merambat daun-daun lontar yang kering di atas pohon, demikian lanjut Mangi membuat banyaknya bunga dan lidah api, terbang dan jatuh di atap rumah warga yang berdaun lontar pula “Jadinya tidak hanya satu rumah yang terbakar, tapi lima unit rumah. Juga ikut terbakar puluhan pohon lontar milik Lasarus Lapu Rohi, dan belasan pohon kelapa milik saya dan warga lainnya,” imbuhnya miris.
Pasca kebakaran, bantuan berdatangan untuk meringankan ‘lara hati’ para korban. Bantuan emergency dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sembako dan pakaian dari sejumlah kelompok dan individu juga komunitas memang terus mengalir. Namun tetaplah menjadi catatan miris untuk semua, api yang cepat merambat dan meludeskan rumah dan isinya, sejatinya tak perlu terjadi jika aktifitas pembakaran padang tidak masif dilakukan. Respon dan ungkapan kepedulian yang cepat dan tepat adalah hal positif, namun lara, duka dan kepiluan yang menggelayut para korban, perlu waktu jauh lebih lama untuk sirna. (ion)