Pendahuluan
Setiap orang memiliki pengalaman tersendiri yang dapat berdampak pada kecemasan. Kecemasan pada umumnya adalah emosi yang normal dalam kehidupan, namun kecemasan tersebut akan menjadi tidak normal jika kecemasan itu berlangsung secara terus menerus pada individu atau warga gereja. Dalam konteks bergereja ada beberapa warga gereja yang memiliki gangguan kecemasan oleh karena pengalaman negatif yang sulit untuk diterima, misalnya tekanan sosial, kesulitan menerima penilaian dari orang lain, berpikir yang berlebihan, suka panik dan melibatkan orang lain dengan paksa, memilih untuk menghindar dari satu kelompok tertentu entah untuk ibadah atau sekedar jumpa dalam gedung gereja, wajah yang ceria menjadi memerah karena cemas dan panik, marah yang tidak terkendali, dan dapat melukai sesama. hal ini sering kali dilihat sebagai bentuk kurang beriman, tidak rajin berdoa, membaca kitab suci/Alkitab, dan kurang aktif ke gereja pada hari minggu, tidak terlibat dalam ibadah komisi dan lain-lain. Warga Gereja yang memiliki gangguan kecemasan sosial cukup sulit bagi pengembala/Pendeta untuk melakukan konseling dan mengarahkan pada proses untuk memahami dan mengurai faktor-faktor penyebab kecemasan tersebut jika Pengembala/Pendeta memahami bahwa gangguan kecemasan adalah sikap kurang beriman. Gangguan kecemasan pada umumnya bagi warga gereja selalu ditolak dengan mengutib teks Kitab Suci, dimana dicatat tentang Jangan kuatir tentang hari esok sebab hari esok memiliki kesusahannya sendiri,susah sehari cukup untuk sehari.
Pembahasan
Kecemasan itu sendiri merupakan gejala Psikologis yang ditandai dengan, khawatir, rasa cemas, gugup, resah dan gelisah, ketakutan yang berlebihan dan berlangsung lama. Nur Aziz(dalam Febryana, 2022) disisi lain Swarjana (2022), mengatakan bahwa kecemasan ialah kondisi emosional yang kompleks karena dipenuhi dengan kewaspadaan pada situasi-situasi tertentu, peristiwa, keadaan, atau tentang masa yang akan datang. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecemasan itu ialah kondisi emosional seseorang saat menghadapi, memikir, dan melakukan sesuatu dengan memakai pengalaman-pengalaman tertentu, ketidakberdayaan untuk menolak sehingga kecemasan ini berlangsung secara terus menerus.
Dalam tulisan Oktapian dan Putri 2018, Kecemasan adalah respon seseorang pada keadaan tertentu yang dianggap mengancam dan membahayakan. Individu yang memiliki gangguan kecemasan sosial akan memperlihatkan 2 reaksi utama yakni reaksi emosional, dimulai dari merasa gelisah, tidak percaya diri, panik, mudah marah, dan merasa takut. Reaksi fisik, dimulai dari jantung berdebar kencang, tubuh gemetar, telapak tangan berkeringat, sakit perut, mual, wajah memerah, ketegangan otot, pusing dan sakit kepala yang berlebihan. Individu yang mengalami gangguan kecemasan yang demikian jika tidak diurai maka dapat menimbulkan gangguan yang next level. Menurut Davidson,dkk(2004) dan Caplin (2009), gangguan kecemasan memiliki karakter tersendiri antara lain ketakutan pada sesuatu, timbulnya kewaspadaan pada sesuatu yang belum jelas dan tidak menyenangkan, keprihatinan pada masa mendatang tanpa sebab, kepanikan yang terus berlangsung, sehingga seseorang akan terus mengalami kecemasan. Dari pendapat ini dikatakan bahwa kecemasan terus melingkari kehidupan semua manusia, akan tetapi jika terus berlangsung lama mesti di arahkan untuk melakukan pendampingan pada psikolog.
Gangguan kecemasan sosial menurut Febriyana (2022), ialah rasa takut dan cemas jika diberi penilaian buruk, dianggap remeh, penolakan sosial, dan tidak dilibatkan dalam situasi sosial. Dasar dari kecemasan sosial ini yakni ketakutan yang sangat pada pengamatan orang terhadap dirinya, dinilai oleh banyak, dan ketidaksiapan individu mengahadapi konflik dan penyelesaian konflik.
Menurut Siswanto (dalam Pastoral Konseling dan Kesehatan Mental 2023), orang yang mengalami gangguan kecemasan pikiran rasional seolah terputus sehingga sekalipun disadari bahwa kecemasan/khawatiran tidak benar atau kurang baik, individu tidak akan berdaya untuk menolak. Berdasarkan ini maka dapat dikatakan bahwa Warga gereja yang mengalami gangguan kecemasan tersebut, sadar benar bahwa cemas itu tidak mendatangkan solusi, kebaikan, melainkan mendatangkan kepanikan, dan sejenisnya tetapi tetap saja warga gereja selalu melihat bahwa gangguan kecemasan adalah akibat dari tidak berdoa, tidak ke gereja dan sebagainya. Warga gereja yang mengalami gangguan kecemasan sering menyampaikan apa yang menjadi faktor penyebab gangguan kecemasan sosial, yakni ketidakmampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah, merasa rendah diri ketika ada dalam satu persekutuan, marah tanpa sebab, tekanan ekonomi, mengalami kegagalan di masa lalu dan penolakan sosial.
Kehidupan sebagai umat yang beragama, yang berkeyakinan pada Tuhan, banyak kali mengabaikan perasaan cemas, marah, sedih, dan takut dalam diri karena selalu dilihat sebagai sikap tidak beriman, atau dosa yang harus dihindari dengan mengutip ayat-ayat Kitab Suci untuk mendukung pernyataan tersebut. Akan tetapi itu menjadi baik dan tepat jika dilihat dengan sudut yang benar karena semua perasaan yang disebutkan diatas bagian dari komponen menjadi serupa dan segambar dengan Allah. Jadi perasaan cemas, khawatir, takut, itu bukan ditolak, dihindari, melainkan diterima sebagai jalan spiritualitas kita dengan Tuhan. Peter Scazzero,(2018). Berdasarkan pemahaman ini, kehidupan antar jemaat tidak terhindar dari berbagai penilaian orang lain entah penilaiannya positif atau negatif. oleh karena itu kecemasan sosial yang dialami oleh sebagian warga gereja secara terus menerus mestinya dilihat sebagai jalan spiritual, yang dapat diterima. Tidak untuk menolak jika ditolak maka hal tersebut dapat berdampak pada suatu gangguan psikologis.
Penyebab Terjadinya Gangguan Kecemasan Sosial pada Warga Gereja
Segala sesuatu yang terjadi tentunya memiliki sebab dan akibat. Namun terlebih dahulu penulis memaparkan terlebioh dahulu terkait gejala kecemasan Sosial pada umumnya.
Ada beberapa yang menjadi gejala kecemasan sosial menurut Dadang Hawari (dalam Febriyana, 2022), yakni :
- Cemas, kuatir, tidak tenang, ragu dan bimbang
- Memangdang masa depan dengan penuh kewaspadaan
- Tidak percaya diri, sering merendahkan diri sendiri
- Tidak merasa bersalah saat menyalahkan orang lain
- Tidak mudah mengalah
- Gerakan yang serbah salah, panik, tidak tenang,
- Sering mengeluh, khawatir yang berlebihan terhadap sakit jika sedang sakit atau menjumpai orang lain yang sedang sakit
- Mudah tersinggung
- Meragu dalam mengambil keputusan
- Bila menyampaikan pendapat sering diulang-ulang dan bertindak gegabah saat marah
Gejala kecemasan diatas terlihat cukup sederhana, namun jika berlangsung lama maka mesti dianalisa dengan serius pada individu/ warga gereja yang mengalami kecemasan berlebihan untuk melakukan konseling.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya gangguan mental yakni, kegagalan dimasa lalu, mengalami penolakan, kesulitan untuk menghadapi masalah dan menerima penilaian orang lain. Menurut Purnomo (dalam Oktapian, Putri 2018), mengatakan ada 2 faktor utama adanya gangguan mental yakni faktor internal timbul dari dalam diri individu itu sendiri, merasa rendah diri, berpikir yang berlebihan tentang sesuatu yang belum terjadi. Faktor Eksternal dari luar diri yang mempengaruhi individu yakni pandangan masyarakat tentang individu, adanya masalah yang sulit dihadapi, penolakan, dan mengurung diri atau anti sosial.
Dalam pengamatan penulis, pada warga gereja yang mengalami kecemasan sosial, ada beberapa penyebab dari kecemasan sosial yang terjadi diantara ialah, penolakan sosial baik dari keluarga, lingkungan, tingginya keraguan dalam diri untuk bertondak dan memutuskan sesuatu, ketakutan yang sangat pada apa yang belum terjadi, takut salah, takut dinilai buruk oleh jemaat yang lain, mudah tersinggung karena memiliki pengalaman luka tersendiri, kesulitan untuk mengelolan amarah, suka panik yang berlebihan baik tentang waktu ke gereja, pakaian gereja, kunjungan antar jemaat, bahkan berpikir yang berlebihan tentang orang lain yang berdampak dalam kehidupan bergereja. Jika gangguan kecemasan sosial ini dibiarkan begitu saja maka akan semakin rumit dan dampaknya cukup berbahaya dalam kehidupan bergereja.
Terapi Perilaku Rasional Emosi (REBT) Sebagai Jalan Pemulihan Bagi Pengidap Kecemasan Sosial
Dengan penjelasan diatas, setelah penulis menjelaskan penyebab kecemasan sosial maka penulis ingin menerapkan Terapi Perilaku Rasional Emosi pada warga gereja yang mengalami gangguan kecemasan sosial sebagai solusi untuk. mengatasi kecemasan tersebut. Menurut Lelono (dalam Febryana, 2022), REBT ialah teknik yang menggunakan pendekatan kognitif dan perilaku untuk memahami dan mengatasi persoalan dan perilaku negatif yang berasal dari keyakinan rasional individu. Terapi REB memiliki 3 konsep utama yaitu Peristiwa yang memicu, Konsekuensi Emosional, dan Kepercayaan atau keyakinan. Ketiga konsep tersebut di kenal dengan konsep A-B-C. Dengan penjelasan bahwa Konsep A yakni menggali kembali peristiwa yang memicu adanya kecemasan sosial, konsep B yakni konsekuensi seseorang terhadap apa yang terjadi, konsep C yakni keyakinan seseorang yang tidak rasional pada apa yang terjadi. Konsep ini adalah lanjutan dari terapi REBT yang diterapkan untuk membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pikiran irasional yang menyebabkan gangguan kecemasan. Coorey(dalam Febryanan, 2022).
Maka dengan ini teknik terapi Perilaku Rasional Emosi, dapat diterapkan pada warga jemaat yang mengalami gangguan kecemasan sosial untuk mengenal dan memahami peristiwa seperti apa yang memicu warga jemaat untuk panik, konsekuensinya dan keyakinan irasional apa yang sedang terjadi atau terpikirkan oleh individu. Dengan menggunakan model A-B-C warga gereja dapat tertolong untuk memiliki pemahaman yang baru dan tepat bahwa kecemasan itu adalah perasaan normal dan jika berlangsung lama itu bukan sikap teidak beriman atau tidak rajin berdoa, melain sinyal tubuh untuk berhenti sejenak dari kepanikan agar dapat memahami seutuhnya apa yang sedang terjadi.
Kesimpulan
Warga gereja pada umumnya memiliki kecemasan yang normal. Akan tetapi kecemasan tersebut berlansung secara terus menerus dapat dilihat sebagai sikap kurang beriman. Realitanya yang Amenjadi pemicu adanya gangguan kecemasan sosial pada warga gereja ialah, merendahkan diri sendiri, merasa kesulitan untuk mengahadapi masalah, panik, berpikir yang berlebihan, takut pada penilaian orang, berusaha menyenangkan orang lain. Bukan karena tidak berdoa, tidak rajin gereja, membaca kitab suci dan sejenisnya. Dengan gangguan kecemasan ini penulis mencoba memaparkan gejala, penyebab dan terapi untuk menolong warga gereja mengelola, memahami dan mengenal bahwa ini adalah perasaan/emosi yang mesti diurai secara bersama dengan konseling. Dalam konseling terapi REBT dapat diterapkan bagi warga gereja dengan pendekatan perilaku dan kognitif untuk kembali melihat masa lalu atau peristiwa apa yang memicu kecemasan, sadar konsekuensi, dan keyakinan irasionalnya. [*]
*) Orce Dapa Ambo, Mahasiswa Magister Psikologi Sains, Universitas Khatolik Soegijapranata, Semarang.
Daftar Pustaka
- Oktapiani,Nia.,Putri Amelia.,(2018). Gangguan Kecemasan Sosial dengan menggunakan Pendekatan Rasional emotif terapi. Journal Fokus, 1(6), 229-232.
- Febryana Fenti.,(2022). Analisis Studi Kasus Klien Dengan Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder). Journal Perspektif, 2(2), 150-153
- Siswanto.,dan Krisetya Mesach.(2023). Pastoral Konseling dan Kesehatan Mental. Yogayakarta: Penerbit buku dan Majalah Rohani, halm. 142-143
- Scazzero,Peter.,(2018), Emotionally Healty Sprituality, Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur, hlm.34-36.
- Tutut Anjarsari,Tutut.,dkk.,(2022). Deteksi Dini Gangguan Kecemasan Menggunakan Metode Naïve Bayes. Journal Ilmiah Penelitian dan Pembelajaran Informatika, 7(4),1198.