Menurut Paul Baran seorang pakar teori pembangunan aliran strukturalis, bahwa proses pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang atau negara-negara Dunia Ketiga tidak luput dari pengaruh kelompok/kelas elit tertentu yang menjadi kaki tangan kepentingan pemodal asing. Kelompok atau kelas ini dikenal sebagai kelas “komprador”. Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan komprador adalah pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan asing di Tiongkok. Peran dari kelompok ini adalah melindungi kepentingan-kepentingan pihak asing yang akan melakukan investasi. Sebagai imbalannya kelas komprador akan mendapatkan keuntungan dari peran yang diembannya (Arief,1998). Menurut Arief (1998), pola yang sama juga terjadi pada masa kolonial, dimana ada sekelompok pengusaha domestik, kelas menengah dan kalangan feodal lainnya yang bekerjasama dengan pihak penjajah untuk menjaga kepentingan status quo. Kelompok atau kelas ini juga dapat dikategorikan sebagai kelas komprador karena landasannya sama yaitu sebagai kelas perantara untuk menjaga kepentingan kelompok “asing” demi mendapatkan keuntungan bagi kelompoknya sendiri.
Teori pembangunan klasik di atas nampaknya masih relevan untuk diwacanakan dalam konteks pembangunan di Indonesia saat ini terutama pada era otonomi daerah. Dimana pola-pola kerja kelas komprador masih terus dijumpai hingga kini kendatipun terjadi pergantian rezim pemerintahan dari waktu ke waktu. Jika pada masa kolonialisme aktor-aktornya terbatas pada kelas menengah, maka saat ini aktornya justru bertambah dengan masuknya elit birokrasi maupun elit politik lokal. Pola beroperasinya cukup canggih memanfaatkan celah-celah kelemahan regulasi atau kelemahan fungsi kontrol legislative maupun masyarakat sipil. Hal ini menunjukkan bahwa praktek-praktek kelas komprador sesungguhnya tidak hanya terjadi dalam konteks kerjasama pembangunan antara negara-negara maju dan negara-negara Dunia Ketiga, antara negara penjajah dan koloninya tetapi juga berkembang secara sistematis pada konteks pembangunan di aras lokal dalam sebuah negara.
Meningkatnya jumlah uang yang masuk ke daerah-daerah otonomi paska kebijakan otonomi daerah (desentralisasi fiskal) telah menjadi lahan perburuhan baru oleh kelas komprador. Jika pada jaman kolonial dan paska kemerdekaan dengan sistem pemerintahan yang terpusat, wilayah bermain kelas komprador hanya berada di pusaran pemerintahan pusat maka paska otonomi daerah wilayah bermain kelas komprador pun ikut meluas mengikuti pusat-pusat kekuasaan baru pada level daerah. Saat ini, semua daerah-daerah otonom di Indonesia begitu menikmati dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal. Namun demikian, hanya segilintir daerah otonom yang benar-benar bisa mengelola kebijakan ini, selebihnya terjebak dalam tata kelola pemerintahan yang buruk (bad governance) seperti inefficiency dalam pelayanan publik, korupsi dan merajalelanya kelas komprador. Harian umum Kompas (26/06/2013) menulis bahwa saat ini, ada 20 gubernur, 1 wakil gubernur, 17 wali kota, 8 wakil wali kota, 84 bupati, dan 19 wakil bupati tersangkut kasus korupsi.
Sumba Timur sebagai bagian dari daerah otonom yang saat ini juga sedang menikmati kebijakan desentralisasi fiskal, juga tidak terlepas dari peran-peran kelas komprador dalam proses penyelenggaraan pembangunan daerah. Pertanyaan, bagaimana mengidentifikasi kelas komprador di Sumba Timur?
Pertama, kehadiran kelompok ini bisa dikenali dari pola kerjanya. Jika pada jaman kolonial kelas komprador menjadi perantara untuk kepentingan asing maka dalam konteks otonomi daerah pola kerja dari kelas ini menjadi perantara bagi kelompok pengusaha lokal. Bangunan relasi (lobby) antara kedua kelompok ini bisa dilakukan dimana saja baik secara terbuka (forum resmi) maupun secara tertutup di kelas warung makan sampai kelas hotel (forum tidak resmi). Bagi pengusaha lokal model lobby tertutup adalah hal yang wajar karena bagian dari strategi mencapai tujuan tetapi bagi elit birokrasi (komprador) praktek ini sesungguhnya tidak wajar karena membawa institusi negara pada wilayah illegal. Ini yang disebut oleh para ahli maupun peneliti sebagai praktek negara bayangan (shadow state) karena menggiring atau mempengaruhi pengambilan keputusan dengan cara tidak resmi (Erman,2007) atau terjadi praktek state capture, yaitu adanya tindakan-tindakan individu atau kelompok untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintahan melalui cara-cara yang tidak transparan untuk keuntungan pribadi, kelompok maupun pejabat pemerintah (Campos and Hellman,2005). Alhasil, pemenangnya sudah bisa ditebak. Praktek ini bisa dianalogikan dengan praktek pemilu-pemilu pada jaman orde baru dimana partai pemenangnya sudah bisa diketahui sebelum pemilu.
Kedua dari aktornya, jika pada jaman kolonial aktornya adalah kelas menengah, kelompok elit dan feodal, maka pada masa otonomi daerah aktornya bisa elit birokrasi maupun politisi lokal. Ritual tahunan proses perencanaan boleh begitu rigid dengan metode yang partisipatif tetapi giliran penentuan alokasi anggaran sampai pada tahap eksekusi lebih ditentukan oleh peran kelas komprador. Kelas ini sudah memiliki desain siapa pemenang-pemenang tender proyek A, B, C, dan seterusnya. Sementara itu elit politik melakukan tekanan-tekanan pada elit birokrasi maupun bermain dibalik elit birokrasi yang cukup memiliki pengaruh untuk menentukan pemenang sebuah tender, yang pasti elit tersebut membawa misi dari kelas pengusaha lokal. Kesimpulannya, regulasi boleh mengatur bahwa pemenang tender adalah penawaran terbaik, namun kelaziman terjadi penawaran terbaik tidak mesti menjadi pemenangnya tergantung seberapa kuat konstruksi relasi pengusaha lokal dengan kelas komprador. Bahkan ada juga kelas komprador yang melaksanakan sendiri proses pembangunan dengan menggunakan nama orang lain atau meminjam bendera perusahaan orang lain tetapi pemilik sesungguhnya kelas komprador, biasa diistilahkan oleh media sebagai “CV plat merah”.
Dampak Permainan Kelas Komprador terhadap Pembangunan Daerah
Akibat dari permainan kelas komprador menimbulkan berbagai konsekuensi. Permainan perannya harus dibayar oleh pengusaha lokal, kendatipun regulasi sudah mengatur bagi siapa saja yang terlibat dalam pengelolaan sebuah program/proyek akan dibayar negara sesuai dengan beban tanggungjawabnya. Dalam prakteknya, peran-peran kelas komprador tidak cukup hanya dihargai dengan ketentuan regulasi justru ada kompensasi lain yang jumlahnya jauh melampaui besaran yang diatur regulasi. Pertanyaan selanjutnya, dari mana sang pengusaha lokal membayar kompensasi? Mungkin terlalu jujur untuk mengatakan pengusaha akan mengurangi keuntungan yang diperolehnya? Adakah prinsip bisnis yang dibangun untuk merugi? Jika bisnis sosial mungkin saja.
Dalam prakteknya pengusaha lokal akan mengambil biaya kompensasi dari “hitung-hitung matematis ala pengusaha” yang sulit untuk dibahasakan, tetapi hasilnya bisa dilihat pada kualitas fisik dari fasilitas publik yang dibangun. Ada banyak fasilitas publik kita yang masa pakainya belum tercapai namun sudah rusak dan harus direnovasi apalagi yang jauh dari pusat kontrol (desa-desa) sungguh memprihatinkan kondisinya karena buruknya kualitas pengerjaan. Penyebab kerusakannya bisa diduga, pengusaha yang terlalu rakus atau karena alokasi anggaran yang tersedia sudah habis di bajak dengan kelas komprador. Akibat dari praktek-praktek yang demikian sebagai penanggung akhir yang merasakan adalah rakyat terutama rakyat yang tidak bisa “bersuara”. Model praktek pembangunan yang seperti ini merupakan “model pembangunan dengan cara memberi sisa”. Artinya, biaya pembangunan yang digunakan adalah sisa dari hasil pembajakan keuntungan kelas komprador dengan pengusaha lokal, sehingga apa yang diterima masyarakat sesungguhnya tidak lebih dari sisa-sisa.
Tentu saja apresiasi tetap diberikan kepada pengusaha-pengusaha lokal yang tidak melakukan pembajakan dan selalu menunjukkan tanggungjawab sosialnya terhadap apa yang dikerjakannya demikian juga terhadap elit birokrasi yang tidak melakukan praktek shadow state and elite capture. Namun terhadap pengusaha lokal dan kelas komprador yang melakukan pembajakan tidak bisa ditolerir, yaitu dengan cara meningkatkan fungsi kontrol dari lembaga-lembaga negara dan oleh masyarakat sipil. Kontrol masyarakat sipil bisa dilakukan dengan memanfaatkan regulasi yang ada atau dengan cara tidak memilih elit-elit yang menjadi bagian dari kelas komprador baik pada level eksekutif maupun legislatif jika tiba saatnya nanti anda memilih.[*]
*] Stepanus Makambombu, Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan UKSW