Waingapu.Com – Curah hujan tinggi dan badai siklon Seroja pada Selasa (06/04) lalu, memporak-porandakan Sumba Timur (Sumtim) – NTT. Sepekan kemudian, layanan listrik dan telekomunikasi di beberapa wilayah masih lumpuh. Sebagian warga pun masih tinggal di pengungsian, pasalnya kediaman warga hancur diterjang banjir juga dikepung badai. Bupati Sumtim, Khristofel A. Praing akhirnya menetapkan wilayahnya dalam status darurat bencana alam hingga Kamis (15/04) lalu.
Dalam kondisi bencana alam, anak-anak dan orang tua merupakan kelompok paling rentan. Ditahun 2018, World Risk Report menyatakan bahwa anak-anak merupakan populasi yang mengalami dampak terburuk dari terjadinya bencana, terutama di negara-negara berkembang. PBB mengestimasi sekitar 100 juta anak di seluruh dunia menjadi korban bencana setiap tahun.
Penelitian World Health Organization (WHO) juga mengungkap dampak psikologis yang menimpa penyintas bencana, diantaranya rasa kehilangan, berduka, marah, takut dan merasa bersalah. Bahkan sebagian korban merasakan reaksi gangguan psikologis berat berupa gangguan stres pasca trauma, depresi, pikiran bunuh diri dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
“Universitas Pertamina, Pertamina Foundation, Hope Indonesia dan Yayasan Dian Sastrowardoyo bergabung dalam Ekspedisi Seroja. Menyalurkan bantuan bagi korban bencana banjir dan badai. Termasuk kegiatan trauma healing kepada anak-anak penyintas bencana,” tutur Roby Hervindo, sekretaris Universitas Pertamina di Waingapu, Sumtim, Minggu (11/04) lalu.
Sekira 120 anak usia lima hingga dua belas tahun mengikuti aktivitas trauma healing di Kampung Ranu, Kelurahan Mauliru, Kecamatan Kambera. Kampung Ranu berlokasi di hilir Sungai Kambaniru, sehingga menderita kerusakan yang cukup hebat. Banyak rumah warga rusak, perkebunan dan ternak mereka musnah diterjang banjir.
Kegiatan dukungan psikososial kelompok ini, lanjut Roby, bertujuan mempercepat pemulihan dan menurunkan resiko anak mengalami permasalahan yang lebih berat di masa yang akan datang. Tujuan lain dari dukungan psikososial ini adalah meningkatkan resiliensi masing – masing anak untuk dapat menghadapi situasi bencana saat ini dan masa depan.
Rambu Esti Praing, relawan bencana dari Sanggar Katala Hamulingu dan Gereja Kristen Sumba (GKS) Umamapu, menceritakan kondisi anak-anak penyintas. “Pasca bencana banjir dan badai, anak-anak merasa ketakutan dan selalu cemas. Mereka kebanyakan di rumah, selalu berdekatan dengan orang tuanya. Antisipasi jika terjadi bencana lagi, maka mereka lebih siap mengungsi,” ujar Rambu.
Tim ekspedisi Seroja dan relawan, mengajak anak-anak berkegiatan seni dan permainan. Anak-anak diajak beraktivitas dalam kegiatan-kegiatan motorik kasar seperti bermain bola, bernyanyi dengan alat musik, dan permainan kelompok serta individu. Kepada anak-anak juga dibagikan paket-paket makanan kecil.
Meikel, anak asal Kampung Ranu, berusia delapan tahun misalnya, merasa senang dengan kegiatan yang dilaksanakan. Ia bersama teman-temannya ceria dan antusias mengikuti beragam permainan. Orang tua anak-anak pun, aktif mendampingi anak mereka dalam trauma healing.
“Sebelum paskah, anak-anak sering bermain bersama. Tapi sejak bencana, mereka hanya di rumah saja karena takut. Sehingga ketika ada kakak-kakak relawan dari Pertamina datang, anak-anak senang bisa berkumpul dan bermain bersama,” kata Rambu.
Pihaknya berencana akan melanjutkan kegiatan trauma healing kepada anak-anak penyintas lain. Terdapat sekitar 30 pemuda-pemudi di posko relawan, yang aktif membantu penggalangan dan penyaluran bantuan kepada masyarakat.
Disamping melakukan trauma healing, Ekspedisi Seroja juga menyalurkan bantuan pangan dan obat-obatan bagi warga terdampak bencana. (ion)