Waingapu.Com – Petang mulai menyapa Sabtu (24/06) di desa Kali Uda, kala mobil Panther Touring yang kami tumpangi, menyusur jalanan desa. Namun sang surya belum sepenuhnya terbenam di wilayah Kecamatan yang identik dengan terbitnya sang surya, hingga ‘klik’ dengan nama Kecamatan Pahunga Lodu. Aroma khas campuran akar mengkudu (kombu) dan Wora (nila) menyusup hidung seiring semilir angin yang berdesir diantara benang-benang yang terjemur di sisi rumah warga desa yang memang sejak silam dikenal sebagai sentra kain tenun ikat khas Sumba Timur (Sumtim) itu. Aroma itu juga menyusup diantara langkah sejumlah warga berbaju koko menuju Masjid Al Ikhlas untuk menjalankan sholat memuji kebesaran Ilahi.
Seiring gema takbir dari arah Masjid malam itu, pada salah satu rumah warga muslim di kampung itu nampak menyiapkan aneka kue basah dan kering. Kue diletakan dalam wadah piring lengkap dengan tutupnya. Para gadis dan ibu-ibu di rumah itu telaten menyiapkan lebih dari sepuluh piring dengan lima jenis kue di dalamnya.
Selanjutnya tiga orang gadis nampak melangkah keluar dari halaman rumah menuju ke tiga rumah tetangga. Ternyata kue-kue itu diantarkan pada para tetangga yang miliki keyakinan/iman berbeda.
“Tiap lebaran dirumah kami yang muslim selalu siapkan kue-kue. Kemudian kue-kue itu kami antarakan ke tetangga dan saudara kami yang bukan beragama Islam. Kalau Natal, kami yang Muslim juga dibagikan dan diantar kue-kue dari saudara dan tetangga yang Kristen atau Katholik,” jelas Aulia, gadis pengantar kue berusia 15 tahun itu.
“Ini kebiasaan sudah lama dan turun temurun di Kali Uda. Kalau lebaran, kami dibagikan atau diantar kue-kue oleh tetangga atau saudara kami yang Muslim. Nanti Natal, kami juga lakukan hal yang sama. Harapan saya, ini bisa terus bertahan dan jika mungkin bisa menjadi contoh bagi tempat lain,” Kata Rambu Agustina, seorang ibu dan tokoh Kristen di desa Kali Uda, ketika dimintai komentarnya beberapa saat paska mendapatkan hantaran aneka kue dari tetangga dan kerabatnya yang beragama Islam.
Lebih lanjut dituturkan Agustina, pada keesokan harinya, tepatnya selepas Sholat Ied, umat Muslim di kali Uda justru akan berkeliling memohonkan maaf lahir bathin kepada warga Desa Kali Uda yang beragam non Muslim.
“Nanti esok selesai Sholat Ied, saudara kami yang Muslim akan keliling kampung untuk bersilaturahmi memohon maaf lahir dan bathin pada kawan, saudara dan tetangga yang non Muslim. Sorenya baru kami yang non Muslim akan melakukan kunjungan balasan ke saudara dan tetangga kami yang merayakan Idul Fitri,” imbuh Agustina.
Seiring terbitnya mentari di Minggu (25/06) pagi, nampak kesibukan warga Muslim Kali Uda mempersiapkan diri dan hati menuju Masjid. Jalanan desa tidak lagi lengang namun mulai ramai oleh kendaraan bermotor maupun pejalan kaki lengkap dengan busana Muslim. Ramainya jalan desa juga ‘dipermanis’ suasana dimana ternak-ternak berkeliaran bebas lepas.
Yaaa, tapak kaki dan roda kendaraan bermotor umat Muslim Kali Uda tetap teguh tak terusik, sekalipun kuda, ayam bahkan babi melintas di depan bahkan di sisi mereka. Babi, sudah pasti binatang yang diharamkan umat muslim, namun tidak lantas membuat ternak penting bagi para penganut Marapu (Aliran Kepercayaan Asli Sumba) diusir dan dihalau oleh warga Kali Uda yang Muslim sekalipun telah berbusana khas tuk menghatur puji dan permohonan pada Sang Khalik.
Tak hanya satu ekor babi yang terlihat kala itu, namun sedikitnya enam ekor babi, dimana dua dintaranya berjalan dan mencari makanan di depan gerbang masjid. Namun kehadiran babi itu tidak lantas membuat kekhusukan dan lantunan doa syukur dan puji serta permohonan pada Allah SWT dalam Sholat Ied kala itu terusik. Malah kekhusukan dan wajah suka cita terus terpancar hingga selesainya Sholat Ied yang dipimpin Sufathan AS sebagai Imam Masjid dan Chaerul Anam selaku Khotib.
“Sejak lama kami di sini rukum dan damai. Kami semua di sini menekankan pada hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Bahkan ada satu rumah yang beragama Islam, Kristen, Katholik juga Marapu, tidak menjadi masalah, karena kami saling menghormati satu dengan yang lainnya. Tidak ada yang salah dengan keragaman, yang salah adalah jika keragaman itu dipakai untuk memecah belah,” urai Sufathan dihalaman Masjid pasca Sholat Ied.
“Islam yang fleksibel itulah Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam yang bisa menyesuaikan dengan kondisi zaman dan situasi. Ini di Sumba tentunya berbeda dengan budaya di Jawa atau di Arab sana, jadi idealnya harus fleksibel, itu salah satu hakikat dari Islam yang Rahmatan Lil Alamin, jadinya kami di sini sangat rukun dan semoga ini terjaga hingga akhir nanti,” jelas Chaerul Anam, yang mendampingi Sufathan, kala dimintai komentarnya seputar kebiasaan atau tradisi unik warga Kali Uda, khususnya kaum Muslim yang justru menjadi ‘pioner’ dalam semangat memohon maaf lahir dan bathin dan bersilaturahmi di hari Idul Fitri bahkan sejak malam takbiran.
Suasana harmoni dalam keragaman ini menjadikan Lebaran atau Idul Fitri di Kali Uda serasa kian berkesan. Kado lebaran yang terasa jauh lebih manis dan indah ini, semoga masih akan terus terpelihara hingga nanti mentari tak lagi terbit di Pahunga Lodu.(ion)