Waingapu.Com – Empat bidang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ditenggarai dilakukan oleh PT. Muria Sumba Manis (MSM) dalam kegiatan investasinya di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT. Demikian diungkapkan oleh Lokataru Kantor Hukum dan HAM, dalam siaran persnya yang diterima redaksi media ini, Minggu (07/07) sore lalu. Lokataru tak sendiri dalam mengungkapkan temuan itu, namun juga bersinergi dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), juga Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS). Pelanggaran HAM yang terjadi, berdmapak pada masyarakat adat di Sumtim.
Adapun ke empat bidang yang menjadi temuan Lokataru sehubungan dengan tindakan pelanggaran HAM itu adalah, bidang lingkungan hidup, keagamaan dan kebudayaan, bidang ketenagakerjaan, serta bidang pertanahan dan pemidanaan.
Berbagai upaya dan tindakan, demikian Lokataru ungkapkan dalam pers rilisnya itu, telah dilakukan mulai dari menyurati lembaga terkait, aksi massa dalam rangka penolakan investasi PT. MSM di Sumba Timur, hingga pelaporan beberapa pihak kepada pihak kepolisian, nyatanya hingga kini tak menyurutkan PT. MSM untuk terus beraktivitas di atas penderitaan Masyarakat Adat.
Terkait ragam realita itu, kedatangan Masyarakat Adat dari Sumtim ke Jakarta, yang kemudian menggelar konferensi pers bersama Lokataru dan tiga lembaga lainnya, di kantor Lokataru itu, menjadi upaya nyata untuk mengais keadilan. Sekaligus, membuktikan bahwa tidak ada langkah penyelesaian dan keberpihakan dari Pemkab. Sumtim dalam menyelesaikan seluruh permasalahan di atas slogan PT. MSM yang berbunyi ‘Mensejahterakan masyarakat sekitar’ namun nyatanya bertolak belakang dengan berbagai fakta yang terjadi.
Dalam siaran pers itu juga runut dipaparkan bidang – bidang yang penegakan HAM – nya dilanggar oleh PT. MSM. Dalam bidang lingkungan hidup berupa kerusakan hutan, padang penggembalaan, kerusakan ladang pertanian, dan adanya privatisasi air yang berujung pada krisis air bagi masyarakat. Wilayah hutan Bulla sebesar 0,58 hektar diokupasi untuk pembangunan embung. Sedangkan pada hutan Mata yang terletak di Desa Wanga juga mengalami kerusakan akibat pembangunan embung penadah air sementara persis di tengah Daerah Aliran Sungai (DAS).
Selain itu, kerusakan daerah aliran sungai akibat dibendung di bagian hulu oleh PT. MSM mengakibatkan kekeringan yang berkepanjangan dan berimbas pada gagalnya ladang pertanian Masyarakat Adat. Sementara itu, sabana sebagai padang penggembalaan hewan masyarakat dialih fungsikan menjadi lahan konsesi perkebunan tebu.
Dalam bidang bidang keagamaan dan kebudayaan diuraikan sebagai imbas dari pembukaan lahan dan rusaknya lingkungan hidup, situs adat dan peribadatan bagi Masyarakat Adat yang menganut keyakinan Marapu menjadi rusak. Hal mana tentu menjadi masalah yang juga dihadapi oleh masyarakat adat di Sumtim.
Tak hanya itu, dalam bidang ketenagakerjaan juga diuraikan kondisi masyarakat yang akhirnya beralih pekerjaan dan berubah menjadi pekerja/buruh bagi PT. MSM. Namun tak serta merta lepas dari semua penderitaan. Tidak adanya jaminan kesehatan bagi para pekerja, tidak adanya fasilitas kesejahteraan bagi pekerja/buruh misalnya toilet, tempat istirahat, dan kantin, serta tidak adanya perjanjian kerja tertulis sehingga membuat perusahaan bertindak sewenang – wenang dengan menetapkan target kerja yang tak manusiawi dan upah yang tak sepadan, juga menjadi keprihatinan.
Sedangkan, dalam bidang pertanahan adalah terkait dengan pelepasan tanah ulayat milik beberapa marga/kabihu secara sepihak oleh oknum pemerintahan di tingkat desa dan kecamatan. Dijelaskan bahwa pelepasan lahan dengan penggunaan status tanah ex swapraja atas lahan yang sebenarnya merupakan tanah ulayat yang dilakukan oleh kepala suku, proses pengukuran secara sepihak oleh PT. MSM dan oknum pemerintahan dengan dalih demi kepentingan umum, penggunaan istilah uang sirih pinang yang disamakan dengan uang pengalihan lahan, serta penerbitan izin lokasi dan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, merupakan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam bidang pertanahan.
Selain itu, demikian rilis Lokataru yang dikirimkan oleh Haris Azhar (Direktur Eksekutif Lokataru), Ronald M Siahaan (Walhi Nasional), Falis Agatriatma (KontraS) juga mengungkapkan adanya pemidanaan yang terkesan dipaksakan. Hal itu nampak dari adanya empat masyarakat adat yang dilaporkan kepada pihak kepolisian selama proses advokasi. Perkembangan proses hukum yang tak sesuai serta tekanan yang terus menerus diterima Masyarakat Adat juga menambah banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi.
Atas ragam paparan itu, semua pihak yanng ambil bagian dalam konferensi pers itu satu suara untuk n mendesak adanya evaluasi bagi jajaran Pembak. Sumtim juga segala bentuk pelanggaran Hukum dan HAM yang dilakukan oleh PT MSM harus dihentikan, ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Untuk Januari hingga Maret 2019 saja, hasil investigasi di Sumtim, ditemukan lima desa yang berada di tiga Kecamatan berbeda, yang alami beberapa pelanggaran Hukum dan HAM yang disebabkan oleh bisnis perkebunan tebu milik PT. MSM. (ion)