Pelaku Industri Wisata Harus Menghormati Kearifan Lokal Masyarakat Sumba

oleh
oleh
Deddy F. Holo
  • Pelaku industri pariwisata harus menghargai kearifan lokal masyarakat
  • Regulasi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu diimplementasikan dengan serius
  • Pariwisata harus berbasis budaya bukan berbasis industri

Dewasa ini industri pariwisata di pulau Sumba semakin tumbuh subur, khususnya di wilayah-wilayah pesisir Sumba. Dimulai dari Pesisir Sumba Timur hingga pesisir Sumba Barat Daya. Geliat pariwisata Sumba dipadukan dengan alamnya yang eksotik, membuat para investor ramai-ramai menanamkan modalnya di sektor ini.

Maraknya pariwisata berbasis Industri di pulau Sumba timbul berbagai polemik terkait dengan penguasaan lahan serta akses atau ruang wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir Sumba. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada berbagai persoalan yang terjadi di wilayah pesisir. Salah satunya adalah ketika para pelaku Industri pariwisata mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan wilayah kelola rakyat.

Baca Juga:  CAMAT BOBROK TANPA ETIKA, ADA?

Puncak persoalan ini ketika terjadinya pelanggaran HAM akibat adanya pengukuran sepihak oleh pihak-pihak investor bersama pemerintah dengan menggandeng pihak penegak hukum, melakukan upaya penguasaan lahan pesisir. Hal ini mengakibatkan adanya perlawanan warga di wilayah pesisir.

Di era industri pariwisata saat ini, penguasaan lahan di wilayah pesisir untuk pembangunan pariwisata semakin tinggi dan ini menjadi tantangan bagi pemerintah sekaligus peluang untuk memastikan segala kebijakannya diimplementasikan dengan baik. Sebagai rujukannya, pemerintah bisa memulainya dengan menjalankan undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pulau Sumba menghadapi persoalan serius terkait dengan wilayah pesisir, di mana pembangunan pariwisata masih saja mengabaikan batas sempadan pantai, hak masyarakat adat, dan akses wilayah kelola rakyat. Dalam aturannya jelas minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat tidak boleh ada kegiatan pembangunan seperti hotel, Resort untuk itu pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang memiliki sempadan pantai wajib mengawalnya dengan baik berdasarkan regulasi yang berlaku.

Baca Juga:  Esok Temanku Akan Diwisuda, Aku???

Dari semua polemik wilayah pesisir Sumba, kini Hahar Malai Kataka Lindi Watu atau Tanjung Sasar yang memiliki nilai sejarah bagi orang Sumba telah dikuasai oleh pemodal untuk kepentingan bisnis pariwisata. Bagaimana membangun peradaban pembangunan pariwisata jika pelaku Industri pariwisata tidak mengedepankan prinsip kearifan lokal? Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah daerah Se-Sumba untuk menetapkan Tanjung Sasar sebagai Cagar Budaya Sumba.

Penulis: Deddy F. Holo, Divisi Bencana dan Perubahan Iklim WALHI NTT

Komentar