Waingapu.Com – Polemik seputar kepemilikan bidang tanah di Tanjung Sasar, di Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, NTT, rupanya belum mencapai babak akhir. Pasalnya, warga dari sejumlah desa dan kampung terkait, Sabtu (28/05/2022) nanti akan menggelar musyawarah adat di Prainggu Napu, Desa Napu. Momentum itu nantinya akan dihadiri oleh elemen warga tak hanya dari desa Napu namun juga dari Wunga dan desa lainnya.
“Kami akan ada musyawarah adat besar di Praingu Napu Sabtu nanti. Nanti yang hadir secara adat selain Napu juga kami dari Kampung adat dan desa Wunga. Juga hadir utusan dari Mamboro, Pakoki dengan Rakawatu,” jelas Benyamin Meha Ratu, tokoh masyarakat desa Wunga, Rabu (25/05/2022) siang lalu.
Meha Ratu yang menghubungi media ini via ponselnya itu lebih lanjut memaparkan, pertemuan itu nantinya akan membahas langkah lanjutan yang akan ditempuh masyarakat menyikapi rekomendasi yang pernah dikeluarkan DPRD terkait polemik kepemilikan dan sertifikasi tanah di Tanjung Sasar.
“Nanti dipertemuan itu recananya akan dibahas langkah-langkah apa yang akan diambil terkait persoalan tanah itu. Bisa saja akan membangun kesepakatan untuk mengambil langkah hukum. Planing awalnya di Kampung Wunga pertemuannya namun karena menjaga aura kampung adat tua dan keramat itu, disepakati pertemuan dibuat di Napu,” papar Meha Ratu.
Untuk diketahui, Tanjung Sasar sendiri merupakan kawasan yang secara turun temurun dikenal dan diketahui sebagian besar masyarakat Sumba sebagai tempat pertama nenek moyang mereka tiba, dan selanjutnya membangun peradabannya. Karena itu, banyak pihak menilai kawasan itu tidak bisa dimiliki oleh pribadi atau perseorangan karena punya nilai historis nan sakral.
Kekesalan terkait sertifikasi atas nama perorangan di wilayah yang disebut warga sebagai kawasan tanah adat dan miliki nilai historis dalam peradaban Sumba itu diluapkan dengan menggelar demonstrasi ke kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) setempat, Kamis (13/01/2022) lalu.
Aksi itu diwarnai dengan orasi, poster dan pernyataan sikap mahasiswa serta masyarakat. Salah satu point yang disuarakan adalah tuntutan pencopotan kepala kantor ATR/BPN Sumba Timur. Selain itu, juga menuntut pembatalan empat sertifikat tanah dengan luasan total 16 hektar di sekitar Tanjung Sasar.
Tuntutan pembatalan sertifikat empat bidang tanah itu, sebagaimana diserukan dalam orator dalam aksi saat itu, beratasnamakan Hengky Ezar dan Merlin Romanti.
‘Biarkan belisku yang kandas asalkan jangan keadilan yang kau tindas’ serta ‘Jangan datang mengkotak-kotakan kami karena kami satu, Haharu Malai Kataka Lindi Watu’ adalah sebagian dari poster yang dibawa warga dan mahasiswa dalam aksi yang dikawal aparat gabungan Polres Sumba Timur itu.
Umbu Elu Ambu, tokoh masyarakat dan juga tokoh adat desa Napu, dalam kesempatan yang sama juga menegaskan siap berjuang untuk tanah ulayat warisan leluhur. “Mau mati, mati! Kami siap untuk perjuangkan tanah kami, itu tanah leluhur kami, tanah leluhur orang Sumba,” tandasnya.
Selepas aksi di ATR/BPN pendemo juga menggelar aksi serupa ke Kantor Kejaksaan Negeri Waingapu, Kantor Bupati dan berakhir di Kantor DPRD Sumba Timur. Harapan dan tuntutan juga senada, yakni kepedulian ketiga lembaga itu untuk peka pada realita itu. Dan selanjutnya merealisasikan dalam tindakan nyata, menyelamatkan aset berharga peradaban Sumba, yang justru dikuasai dan berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. (ion)