Waingapu.Com – Demam Berdarah Dengue (DBD) hingga kini bak masih menebar ‘teror’ bagi warga Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT. Prahara seakan belum jua menjauh dari warga. Jika merujuk data dari bulan Desember 2018 silam, belasan tenda duka dan perkabungan telah dididirkan karena prahara yang dibawa ‘sang aedes aegypty’ itu. Di Kelurahan Lambanapu, Kecamatan Kambera, misalnya, tenda duka harus dibangun bersisian, seiring kepergian dua generasi penerus dua rumah tangga dalam satu hubungan kekerabatan (Kabihu/Marga).
Duka itu terasa sangat berat dipikul oleh keluarga Martinus Ndjama Landutana dan Ester Pingge, seiring kepergian puteri bungsu mereka Anastasia Clarita Ina. Diusianya yang masih empat tahun itu, Clarita harus meregang nyawa dan kemudian berpulang ke Sang Khalik. Kala disambangi dan dilayati, Selasa (12/02) siang kemarin, sang bunda terus menitikan air mata, berbaur bersama air mata duka para pelayat lain yang datang memberi penguatan dan menyatakan duka bersama.
Daniel Raha Mbili Djawa, mewakili kedua orang tua Clarita, dalam kapasitasnya sebagai paman menuturkan, Clarita derita sakit sejak 05 February lalu. “Dia sakit sebenanrya dari tanggal lima Februari namun baru positif terdeteksi DBD dua hari setelahnya. Kami bawa ke rumah sakit Lindimara ke IGD, dari situ langsung ke ruang ICU dan dirawat intensif, namun nyawanya tak tertolong dan meninggal malam tanggal 11 February kemarin,” jelas Daniel.
Hanya sekira belasan langkah dari rumah duka keluarga Martinus, atau hanya beberapa langkah dari tenda duka di rumah itu, tenda juga telah lebih dulu berdiri, dan duka serupa juga masih gelayuti penghuni rumah milik Domianus Ndilu Laki Ama. Betapa tidak, putera tercintanya yang telah hidup bersamanya lebih dari 14 tahun itu harus menutup usia. Deljan Ria Wunu Hiwal, terbaring dalam sebuah peti yang telah tertutup rapat, dengan sebuah foto sang putera di atasnya.
“Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, anak saya meninggal tanggal satu Februari lalu. Kami baru akan kuburkan beberapa hari kedepan setelah ada kesepakatan waktu dengan keluarga. Saya harap anak saya ini sebenarnya yang terakhir menjadi korban DBD namun justru saudara saya, kelaurga kandung saya di sebelah anaknya juga meninggal. Ini duka kami semua duka Kabihu Anakapu,” lirih Domianus saat itu disisi peti mati puteranya.
Warga yang kebetulan saat itu sedang berada di dua rumah duka yang bersisian itu juga menauh harap, prahara, duka dan kegetiran yang ditumbulkan oleh keganasan DBD bisa segera berlalu. Pemerintah melalui instansi terkait menjadi sandaran asa mereka, juga elemen lainnya yang menaruh simpati.(ion)