Waingapu.Com – Praingu (dibaca Praing) adalah sebutan orang Sumba Timur (Sumtim), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk kampung utama atau kampung besar.
Adapula yang menyebutnya ‘Kotak’. Ada banyak Praingu atau Kotak di Sumtim, salah satunya adalah Praingu Lewa Paku yang terletak sekitar 57 kilometer arah barat kota Waingapu atau sekitar empat kilometer dari Pameti Karata, Kota Kecamatan Lewa.
Menuju Praingu Lewa Paku dari Kota Waingapu maupun Pameti Karata, jalan raya beraspal mulus (hotmix) membelah perbukitan dan hamparan padang sabana khas Sumba mendominasi. Namun sekitar 300 meter jalan menuju Praingu Lewa Paku, jalannya hanyalah pengerasan dari Sirtu (pasir batu) yang mulai rusak terkelupas karena erosi.
Semakin mendekati Praingu Lewa Paku, suasana sejuk terasa. Pasalnya Praingu Lewa Paku sejak masa silam memang terletak di antara rimbunn pepohonan/hutan. Namun seiring bergulirnya waktu dan aktifitas perambahan hutan, kini yang tersisa hanyalah beberapa pohon beringin dan beberapa pohon khas hutan Sumba.
Dari cerita turun temurun, Praingu Lewa Paku dikenal sebagai pusat kerajaan Lewa Kambera (Sebuah Kerajaan era Swapraja). Kerajaan Lewa Kambera, merupakan kerajaan terluas dan cukup berpengaruh di wilayah Sumba. Hal itu dibenarkan oleh Umbu Mbora (49) putera dari almarhum Tamu Umbu Nai Ndima, Raja terakhir Kerajaan Lewa Kambera yang berpusat di Praingu Lewa Paku, yang menyambut dengan ramahnya kedatangan penulis di pelataran depan rumahnya berarsitektur khas sumba timur itu, beberapa pekan silam.
Umbu Mbora inilah yang kini menempati Praingu sejak beberapa tahun lalu. Perlahan namun pasti ia mulai menata kampung ini dengan kembali membangun rumah yang kini ditempatinya bersama keluarga. Rumah itu terletak tidak jauh dari makam Tamu Umbu Nai Dima, ayahandanya juga leluhur lainnya peletak dasar atau pendiri Praingu Lewa Paku.
Makam almarhum Ayah dan Umbu Nday Litiata kakeknya memang tidaklah terbuat dari bebatuan (Megalithikum) melainkan dari campuran beton berbentuk rumah adat khas Sumba (Mirip bentuk rumah joglo Jawa) namun disekeliling kedua makam itu masih bisa ditemui sejumlah kuburan dan ornament megalithikum yang bernilai historis, tidak hanya bagi penghuni dan penerus generasi di Praingu ini, namun juga bagi warga Sumtim umumnya.
“Kampung ini bisa berusia ratusan tahun sebenarnya. Saya saja turunan atau generasi kelima dari Raja atau pendiri Praingu disini. Bapa saya ada empat isteri, saya anak dari isteri ke tiga, dari lima bersaudara. Isteri bapak yang sebelumnya dan isteri ke empat tidak memiliki anak,” tutur Umbu Mbora mulai berkisah.
Sekarang dilokasi ini tinggal tiga rumah tradisional beratap ilalang yang tersisa. Itupun merupakan bangunan yang dibangun di atas puing-puing rumah lama yang telah ambruk termakan usia.
Lazimnya perkampungan orang Sumba, kuburan kerabat yang meninggal terletak di depan rumah. Demikian pula halnya di depan rumah Umbu Mbora yang juga merupakan ketua Komunitas Revitalisasi Kampung Adat Praingu Lewa paku (KRKAPLP). Lebih dari 10 kuburan berada depan rumahnya, sebagian besar merupakan kuburan batu beraroma megalithikum.
“Selain kuburan megalith juga ada susunan batuan tepat di depan rumah yang kini sedang kami siapkan untuk dibangun kembali. Itu disebut Andung. Dulunya ditempat itu merupakan tempat ditaruhnya kepala manusia yang merupakan musuh atau lawan yang terbunuh di medan perang,” jelas Umbu Mbora.
Ditanya tentang arsitek rumahnya yang tidak memiliki menara, Umbu Mbora mengatakan, rumah ini memang mengikuti bentuk aslinya. “Ini rumah memang sejak dahulu kala bentuknya begini. Tidak pakai menara, lain dengan rumah yang nantinya kami bangun dengan bantuan dana dari kementrian. Kalau rumah ini namanya Uma Maringu, sementara yang sementara disiapkan untuk dibangun itu namanya Uma Mbakulu, itu yang nantinya bermenara. Ukuran rumah yang nantinya dibangun adalah 13 X 14 meter dengan atap ilalang, bermenara dan berbentuk rumah panggung layaknya rumah tradisional Sumba pada umumnya,” jelas Umbu Mbora.
Adapun Uma Maringu (Rumah Penyejuk/Musyawarah), demikian Umbu Mbora melanjutkan, adalah rumah yang tak bisa dilepaskan perannya dari rumah induk atau Uma Mbokulu (Rumah Besar). Di Uma Maringu inilah permasalahan atau persoalan dibahas dan didiskusikan. Hasilnya barulah nanti di bahas lebih lanjut di Uma Mbakulu.
Di depan Uma Maringu itu juga ada batu berbentuk datar dan sebuah batu yang berbentuk lurus (vertical). Tempat ini dinamakan Katoda, yakni merupakan tempat pemujaan dan doa kepada Leluhur yang lazim disebut Marapu (Aliran kepercayaan animism dan dinamisme khas Sumba).
“Itu namanya Katoda, orang Sumba yang masih memegang teguh kepercayaan asli Sumba pantang untuk berdoa langsung pada Sang Khalik. Pencipta sangat diagungkan dan pantang disebut namanya, untuk itu, roh leluhur atau marapu dijadikan media untuk menyampaikan segala permohonan dan doa pada Sang Pencipta. Salah satu tempat prosesi itu adalah di Katoda itu. Jadi seperti yang tadi adi lihat, di tempat itu masih ada sisa-sisa sirih dan pinang, sebagai salah satu bahan dasar sesajen,” papar Umbu Mbora seraya menambahakan bahwa hingga kini semua benda-benda dan tempat itu masih dihargai dan dipakai oleh penduduk kampung maupun bagi para pengunjung diwajibkan untuk menaruh sirih pinang dan mohon restu leluhur kampung jika memasuki kampung atau Praingu Lewa Paku itu.
Tak seperti candi atau bangunan historis lainnya di daerah lain, ornament- ornament megalithikum di Praingu Lewa Paku juga kampung di Sumba pada umumnya tidaklah dirawat secara khusus.
“Tidak ada perawatan, paling dibersihkan jika ada rerumputan. Kalau lumut dan lainnya dibiarkan saja, kami suka dan biarkan apa adanya saja, dari situlah justru semakin menegaskan umur atau usia tua sebuah kuburan atau ornament khas megalithikum lainnya,” timpal Umbu Mbora.
Lebih lanjut Umbu Mbora menuturkan, dulunya di kampung ini terdapat 36 rumah, namun seiring perkembangan jaman dan waktu, kampung ini sempat dibiarkan kosong dan rumah akhirnya ambruk. Namun sekira hamper 10 tahun silam, perlahan Umbu Mbora mulai kembali menata dan mendirikan rumah yang kini ditempatinya. Langkah itulah yang kemudian mulai menyadarkan warga yang dulunya punya kaitan erat dengan Praingu Lewa Paku untuk menghargai dan kembali berpikir soal keberlangsungan Praingu Lewa Paku itu (bersambung).