Beberapa minggu ini masyarakat NTT dihebohkan dengan salah satu pernyataan seorang Wakil Rakyat DPR RI ketika dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar pada Selasa 26 Januari saat pembahasan program kerja Ditjen Cipta Karya dan BPIW untuk tahun 2021, ia mengatakan bahwa “Saya kemarin diajak teman-teman komisi V (DPR) berkujung ke NTT. Tidak ada yang istimewah di sana. Paling yang istimewahnya Komodo saja,” ujarnya. Pernyataan ini serentak membuat warga NTT kecewa dan tidak ketinggalan juga masyarakat yang ada di pulau Sumba ramai-ramai melakukan gerakan promosi wisata untuk menunjukan keistimewaaan NTT secara masif diberbagai grup media sosial. Bagi saya ini luar biasa sekali.
Sikap spontan yang dibangun masyarakat NTT adalah wajar, siapa pun pasti akan merasa kecewa katika daerah atau wilayahnya dikatakan tidak memiliki keistimewaaan dan potensi padahal jelas-jelas ada begitu banyak hal unik di NTT. Melihat fenomena ini Forum Peduli Pembangun Sumba Timur (FP2ST) tentu mendukung gerakan seluruh elemen NTT melakukan gerakan promosi wisata. Namun apakah gerakan ini hanya karena rasa kecewa ? Saya berharap jauh dari pada ini.
Nusa Tenggara Timur memiliki beragam potensi dan kekayaan alam dan budaya yang di akui dunia, patut kita syukuri bersama bahwa keindahan NTT menjadi icon budaya dan pariwisata diberbagai ajang festival dunia.
Selang beberapa minggu kemudian tepatnya di tanggal 8 Februari 2021 media detiknews memuat berita dengan judul besar “Pulau Sumba Dijual di Situs Online, Pemrov NTT: Kominfo-Polri Perlu Usut”. Banyak warganet biasa – biasa saja dan bahkan tidak ada gerakan yang spontan sama halnya dengan gerakan tentang keistimeaaan itu tadi. Di sini FP2ST menilai bahwa ada sikap yang berbeda. Kita hanya ingin menunjukan keistimewaaan NTT namun disisi yang lain kita tidak mampu untuk melindungi keunikan tersebut. Apakah akan muncul gerakan yang sama? Wait and see
Dalam pandangan FP2ST sebenarnya ada berbagai persoalan yang masih belum diselesaikan oleh pemerintah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota salah satunya terkait dengan Privatisasi Pesisir Pantai Di Pulau Sumba. Datainvestigasi FP2ST kurang lebih 80 persen wilayah pesisir di pulau Sumba di privatisasi oleh sekelompok pemodal dan elite yang memberikan ruang kepada kepentingan investasi pariwisata di pulau Sumba. Wajar saja jika Pulau Sumba Dijual di Situs Online, ini menggambarkan betapa carut marutnya system pengawasan wilayah pesisir Sumba. FP2ST menilai ini perlu dilihat secara serius oleh pihak pemerintah dan penegak hukum di NTT bagaimana tata kelolanya, apakah ada akses untuk publik atau tidak dan bagaimana dengan keselamatan warga pesisir serta bagaimana proses kepemilikin atau izinnya? Ini yang perlu dilihat secara serius sehingga tidak menimbulkan konflik di bawah.
FP2ST; Pesisir Pulau Sumba Dijual Terbuka di Situs Online
Maraknya investasi pariwisata di pulau Sumba saat ini membuka ruang bagi pelaku investor untuk menanamkan modalnya di Sumba, hal ini bisa di lihat dari berbagi situs penjulan lahan pesisir di media-media sosial. Hasil pantauan FP2ST sejauh ini ada beberapa situs/akun seperti Exotic East yang melakukan promosi dan penjualan pesisir pantai di pulau Sumba. Ada puluhan gambar/ foto pesisir pantai yang di iklan kan oleh situs tersebut dengan mencantumkan seluruh informasi lahan beserta luasan dan harganya, sementara hasil konfirmasi FP2ST di beberapa wilayah pesisir yang disebutkan tidak pernah mengetahui adanya penjualan pesisir pantai. Ini yang menjadi kegelisahan FP2ST jika pemerintah tidak serius memperbaikinya. Ada transaksi ilegal yang sedang berjalan tanpa kita semua sadarai wilayah pesisir kian habis terjual.
Saat ini pulau Sumba menjadi bidikan para investor di bidang idustri pariwisata khusunya pariwisata di wilayah pesisir pantai Sumba, fenomena ini bisa di lihat di sejumlah situs-situs online di mana sejumlah pesisir pantai di pulau Sumba dijual bebas dengan langsung mencantumkan lokasi dan luasan serta harga. Jadi ketika pulau Sumba dikatakan dijual bukan hal yang baru lagi. Ini sudah terjadi dan anehnya sikap tegas pemerintah dalam melihat isu ini belum begitu serius.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sudah ada ketentuan umum dan batasan-batasanya sesuai dengan regulasi yang ada terkait tata kelola wilayah pesisir dimana mengatur soal ruang publik atau akses bagi masyarakat pesisir. Namun, sejauh ini pengembangan industri pariwisata banyak merampas ruang hidup masyarakat pesisir, seperti terjadi di pulau Sumba, dan Flores NTT.
Kejadian pelanggaran HAM juga tidak luput dari masuknya industry pariwisata di pulau Sumba, seorang petani bernama Poro Duka, asal Lamboya-Sumba Barat harus meregang nyawa akibat mempertahankan ruang hidupnya ketika berhadapan dengan investasi pariwisata. Persoalan-persoalan ini tampak jelas berada didekat kita, namun lagi-lagi pemerintah masih belum memberikan jaminan hukum yang baik kepada warga pesisir akan keselamatanya, belum lagi kriminalisasi nelayan, kawasan tangkap ikan nelayan yang kini hampir sebagian dibangun sarana pariwisata ini mengakibatkan nelayan atau petani rumput laut kesulitan mengakse sumber daya alam yang ada. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan keselamatan warga dengan melindungi ruang hidup warga pesisir.
FP2ST; Perlu Perhatian Serius Pemerintah
Langkah strategis yang bisa dilakukan saat ini oleh pemerintah terkait perlindungan ruang hidup warga pesisir di pulau Sumba adalah dengan memastikan akses, ruang hidup, konservasi dan perlindungan hukum. Sejauh ini masyarakat pesisir masih belum memahami dengan baik tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) untuk mewujudkan ruang laut dan SDA bagi warga pesisir yang berkelanjutan dan ini tugas kita bersama bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan pentingnya keselamatan warga di wilayah pesisir pulau Sumba.
Dalam usaha industry pariwisata keselamatan dan akses warga pesisir menjadi prioritas penting yang perlu diperhatikan bersama baik itu pemodal dan pemerintah. Investor tidak bisa menutup akses bagi warga pesisir lalu mencari kuntungan sebanyak-banyak dengan “mematikan” wilayah kelola rakyat, disinilah intervensi pemerintah diperlukan untuk memastikan ruang dan keselamatan warga pesisir.
Selanjutnya pemerintah harus mengandeng seluruh elemen masyarakat untuk membangun konsep perlindungan warga di wilayah pesisir dengan mengacu pada regulasi dan kearifan lokal yang ada di masyarakat. Ini untuk meminimalisir konflik di wilayah pesisir.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan desain instrument pembangunan pariwisata yang berbasis rakyat dan berkelanjutan, kawasan pesisir tidak lagi di kuasai dan di privat pemodal, tetapi pemerintah memberikan suntikan modal (stimulant) kepada masyarakat lokal untuk melakukan usahanya di wilayah pesisir, namun sebelumnya perlu diberikan pelatihan, pemahaman, dan tata kelola yang berkelnjutan, serta menjadi mitra usaha dengan masyarakat dalam mengembangkan potensi yang ada. Ini yang belum dilihat serius oleh pemrintah daerah di pulau Sumba dalam mengembangkan pariwisata kerakyatan.
Semoga dengan ulasan singkat ini ada langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah guna memastikan keselamatan warga pesisir dan wilayah pesisir di pulau Sumba, tentu saja hal ini perlu gerakan bersama untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di pulau Sumba tercinta.
Penulis: Deddy Febrianto Holo, Koordinator Forum Peduli Pembangunan Sumba Timur