Setahun Bencana Seroja NTT, WALHI Nilai Pemerintah Abai Urusan Adaptasi & Mitigasi

oleh
oleh
Seroja

Waingapu.Com – Keseriusan pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim di nilai belum memberikan kontribusi yang baik dalam melindungi warga dari ancaman bencana yang datang. Ini dapat dilihat bahwa berbagai kebijakan pembangunan masih berorientasi pada pola “penghancuran sumber daya alam” seperti alih fungsi hutan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan skala besar. Demikian pengamatan WALHI – NTT sebagaimana termaktub dalam rilis yang diterima media ini, Selasa (05/04/2022) pagi lalu. Rilis ini sebagai respon terkait setahun bencana seroja melanda NTT.   

Dalam rilis yang dikirimkan oleh Deddy F. Holo, Koordinator Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan WALHI NTT itu, disebutkan pemerintah saat bencana dan pasca bencana hanya mampu memberikan bantuan. Selebihnya pada urusan adaptasi dan mitigasi masih belum berdampak baik di level bawah. “Pola penanganan masalah perubahan iklim dan bencana harus dimulai dari hulu yaitu kebijakan, penguatan kapasitas masyarakat, pendampingan, pelatihan serta edukasi dan literasi akan dampak krisis iklim,” tandasnya. 

Selain itu sebut WALHI, kebijakan pembangunan di NTT yang mengabaikan daya dukung dan tampung lingkungan hidup, justru membantu mempercepat krisis iklim dan menciptakan bencana alam. Diuraikan data BMKG memperlihatkan sepanjang 2021 telah terjadi 3.116 bencana yang didominasi oleh Hidrometeorologi, beberapa di antaranya seperti banjir 1.310 kasus, cuaca ekstrem 815 kasus, dan tanah longsor sebanyak 633 kejadian. 

Baca Juga:  Walhi NTT Kritisi Tata Kelola Lingkungan Jadi Penyebab KLB DBD Di Sumba Timur

Indikator ini bisa dilihat dari banyaknya kasus alih fungsi lahan untuk pembanguanan investasi baik itu di sektor pariwisata, pertambangan dan perkebunan. Di awal April tahun 2021 kita diperhadapkan pada badai siklon tropis yang melanda wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Akibatnya banyak kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat dari perubahan iklim tersebut. Bukan saja pada persoalan infrastrukur yang rusak tetapi lebih dari itu merusak segala sendi kehidupan manusia seperti krisis air bersih dan pangan menjadi dampak lanjut dari bencana seroja di NTT hinggga saat ini.

Khusus dalam mengenang setahun terjadinya bencana badai seroja di NTT, Dedy menyatakan terjadinya bencana itu karenaadanya dampak dari perubahan iklim global. “Kita ketahui bahwa mencairnya es di benua antartika akibat dari kegiatan manusia yang tidak menjaga keseimbangan ekosistem menjadi salah satu peyebab berbagai bencana di belahan dunia,” tandas Dedy.

Pasca seroja di NTT, demikian Dedy menguraikan, banyak pihak sudah melakukan upaya pemulihan baik itu pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan komunitas. “Ini sebagai upaya memulihkan korban bencana alam dalam mendapatkan berbagai kebutuhan seperti sandang, papan dan pangan. Di sisi lain jika kita mencermati siklus seroja yang melanda wilayah NTT tentu kita berharap upaya pemerintah lebih serius dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di wilayah-wilayah yang rentan terhadap bencana dan perubahan iklim,” urainya. 

Baca Juga:  Hadirkan Secercah Tawa Ditengah Bencana dengan Ekspedisi Seroja di Pulau Sumba

Hal itu, sebut Dedy untuk mengurangi risiko dampaknya. Dimana salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memberikan pendidikan kritis terkait dengan linggkungan hidup, selain itu juga perlu dilakukan pelatihan-pelatihan bagi warga sebagai upaya penguatan kapasitas respon bencana.

Mementum satu tahun Seroja, tandas Dedy lebih lanjut, WALHI NTT merekomendasikan beberapa poin kepada pemerintah di NTT untuk dicermati. Rekomendasi itu yakni, pemerintah perlu menetapkan momentum badai Seroja yang melanda NTT sebagai ‘Hari Bencana’ hal ini bertujuan untuk selalu mengingkatkan semua warga agar lebih memperkuat system respon adaptasi dan mitigasi dan risiko bencana. Selain itu perlu adanya penguatatan system informasi dan edukasi secara berkala dari pemerintah terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam rangka meminimalisir risiko bencana. Perlu pula peta rawan bencana di wilayah NTT, yang tujuannya agar dalam penanggulangan bencana di wilayah yang rentan bencana dapat diantisipasi secara dini.

Baca Juga:  Polemik Investasi Di Umalulu, Pemerintah Sudah Optimal Cari Solusi

Rekomendasi lainnya juga yakni, kebijakan konservasi kawasan pesisir untuk mengurangi dampak kenaikan air laut terhadap masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, konsep kebijakan terkait dengan pembangunan yang berkeadilan iklim, sesuai dengan nilai dan kearifan lokal masyarakat NTT. Perlu forum respon multistakeholder yang dapat merespon secara cepat dan tepat dalam memberikan informasi kepada masyarakat di setiap kabupaten/kota di wilayah NTT. 

Yang juga penting dilakukan pemerintah menurut WALHI dalam rekomendasinya yakni, Pemerintah  di NTT harus lebih sigap dalam menghadapi bencana alam dengan membangun system adptasi dan mitigasi yang kuat di level pemerintahan kabupaten/kota dan desa, serius melakukan pemulihan pasca badai Seroja di NTT serta mencegah adanya pembangunan yang tidak peka kebencanaan,  mengingat NTT adalah provinsi kepulauan dengan tingkat kerentanan bencana tinggi terutama bencana alam. Hal yang juga perlu adalah melakukan Pendidikan kebencanaan dan dampaknya secara berkala di wilayah NTT terutama wilayah yang rentan. (ped)

Komentar