Waingapu.Com – Hama Tungro yang menyerang lahan padi milik warga Kandara, Kecamatan Kambera serta wilayah lainnya di Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT,
perlu disikapi dengan bijak oleh petani, juga instansi teknis terkait lainnya. Demikian dijabarkan oleh Rachmat Adinata, ahli pertanian organik dan aktifis pengendali hama terpadu ketika ditemui Waingapu.Com belum lama ini di Kota Waingapu.
Adinata yang akrab disapa Kang Bayan itu menuturkan, menyikapi berbagai hama yang telah dan akan terjadi perlu dihadapi dengan mengembangkan pertanian ekologis. Dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar petani bisa mengatasi penyebaran hama Tungro dalam jangka pendek.
“Hama Tungro yang diakibatkan oleh wereng hijau secara ekologis bisa ditanggulangi dengan air kencing sapi yang dicampur dengan sari tumbukan daun nimba, daun sirsak dan gadung racun atau iwi. Karena wereng hijau paling tidak suka dengan amoniak yang terdapat pada air kencing atau urine sapi. Itu untuk jangka pendeknya, dan dilakukan setelah padi ditanam. Untuk jangka panjang petani harus biasakan diri untuk merotasi tanaman dengan cara menanam padi, stelah itu tanaman lain baru ditanami padi lagi atau sebaliknya. Hal yang juga paling penting adalah diupayakan para petani di Sumba Timur tanam secara serentak, ini akan memutuskan mata rantai penyakit atau hama,” urai Kang Bayan.
Berita Lain: Hama Tungro Serang Padi Petani Kandara
Lebih lanjut Kang Bayan menyarankan agar para petani sedapat mungkin menghindari penggunaan pestisida kimia karena tidak menyelesaikan masalah. Penggunaan pestisida justru akan berdampak pada resistensi pada hama dan penyakit itu sendiri. Pengembangan pertanian secara ekologislah yang menurut kang bayan paling ideal untuk dilakukan.
“Yang keliru petani-petani di Sumba bahkan di Nusantara kalau berbicara hama atau penyakit justru berpikir apa obatnya terlebih dahulu lalu menepikan pemikiran akan apa penyebabnya. Intinya petani harus cerdas terlebih dahulu, jangan berbicara tentang swasembada atau produksi sebelum petani itu dimuliakan,” tandas Kang Bayan.
Ketahanan pangan, demikian Kang Bayan bukan semata-mata tugas pemerintah dan dibebankan pada petani semata. “Selama ini sinergi itu yang putus ditengah jalan atau tidak optimal dilakukan. Petani tidak dimuliakan oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Mencerdaskan petani adalah hal positif yang perlu dilakukan tidak hanya oleh petani itu sendiri namun juga pemerintah dan bahkan NGO,” pungkasnya.
“Pasrah sudah kalau begini, mau bagaimana lagi. Saya sudah rugi cukup banyak, mulai biaya tanam dan pada saat terkena hama tungro ini sudah mau dua juta uang saya habis beli obat buat semprot tapi sama juga tak ada hasilnya,” jelas Yohanis Nawa, seorang petani yang ditemui di Kandara.
Kepasrahan akan ancaman gagal panen tak dipungkiri didepan mata para petani. Hal itu tentunya hanya akan menjadi cerita lalu jika penanganan dan pendampingan terhadap para petani dari intansi teknis terkait dilakukan optimal dan tak hanya sekedar menyediakan pestisida beraneka bentuk yang dikemas dalam proyek-proyek pengadaan.(ion)