Waingapu.Com – Yunita Bani nampak terbaring lemah saat disambangi sejumlah awak media, Selasa (21/01) siang lalu, di sebuah gubuk bambu yang masuk dalam wilayah kelurahan Matawai, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim) NTT itu. Ditemani Koni Malo, ibunya, perempuan berusia 21 tahun itu, berupaya untuk bisa bangun dan duduk. Upayanya berhasil walau di kening dan pipinya nampak keringat sebesar bulir padi bagai tinggal menunggu hitungan mundur untuk menetes. Kelelahan juga nampak di wajah Koni karena semalaman kurang tidur menjaga puterinya.
“Sudah delapan tahun sakit begini Pak. Lihat saja ini perutnya sudah makin besar. Dia sakit begini saya sudah yang urus, bapanya sudah meninggal pak,” ungkap Koni dengan dialek kental Waijewa, Sumba Barat Daya.

Koni lebih lanjut menjelaskan, anaknya sempat jalani perawatan selama empat hari di RSUD Umbu Rara Meha, namun kemudian harus pulang, karena oleh tenaga medis di rumah sakit terbesar di Pulau Sumba itu, disarankan untuk jalani perawatan lanjutan ke Bali, karena keterbatasan alat dan juga tenaga ahli.
“Kami bawa pulang sudah, tapi mau bawa ke Bali kan harus urus rujukan, tapi kami mau ke Bali juga mau dapat uang dari mana,” timpal Koni sembari menjelaskan, bahwa dia bersama dengan adiknya merawat Yunita di gubuk bambu yang sejatinya bekas kandang ayam milik Ibu Ata. “Ini memang bekas kandang ayam, tapi kemudian tidak lagi dipakai, jadi kami dikasih ijin untuk tinggal di sini. Kami kasih bersih lalu kami tinggal,”ungkap Agus Mehang, paman Yunita yang kala itu hadir mendampingi.

Dari Agus inilah kemudian diketahui bahwa, tempat mereka menumpang ini adalah bekas kandang ayam, yang kemudian diserahkan untuk ditempatinya, pasca rumah yang mereka tumpangi sebelumnya, oleh pemiliknya diminta untuk dikosongkan. Karena melihat kondisinya yang tidak miliki tempat tinggal, menggerakan hati ibu Ata, yang kemudian menyerahkan gubuk bekas kadang ayam untuk ditumpangi Agus, Koni dan kemudian Yunita.
“Kami mau bawa lagi ke rumah sakit untuk berobat, tapi sama saja, nanti paling kembali dibilang harus rujuk. Jadi kami pakai obat kampung dan dukun. Kalau nanti pak ada yang bantu kami, kami hanya bisa ucap terima kasih dan berdoa,” timpal Koni. Namun beruntung, seiring waktu, Ibu Ata dan juga kerabat lainnya memberikan bantuan obat herbal.
“Macam badan tertusuk, lebih-lebih ini belakang sakit, jadi saya tidak bisa tahan duduk. Kalau tidur paling menyamping saja,” ungkap Yunita, ketika ditanya tentang kondisinya saat itu. Yunita juga menuturkan, sebelum tumor diperutnya kian membesar, dia masih bisa bekerja dan bahkan pernah kerja di Bali. Namun karena sakitnya tidak lagi tertahankan, dia kemudian dipulangkan. Dan lebih dari dua bulan terakhir tinggal di gubuk bambu itu bersama paman dan ibunya. (ped–ion)