GIZI BURUK HINGGA MASALAHNYA SENDIRI

oleh
oleh
Sepritus Tangaru Mahamu

Angin berhembus lebih cepat dari biasanya mengajak debu berterbangan bersama di jalanan yang belum rampung dan sisa proyek kadaluarsa yang ditinggalkan cv tidak bertanggung jawab. Tapi dalam kehatian-hatian saya terus nenyusuri jalanan disekujur Humba dalam banyak rangka perjalanan dari tugas hingga jalan-jalan semata karena sebelumnya telah membaca peringatan dini cuaca ekstrim yang dikeluarkan BMKG NTT yang merupakan imbas dari badai “pakhar” di Filipina.

Dalam perjalan saya selalu disuguhkan keindahan savana yang memerah bersama api yang bergelora dipadang-padang melalui prosesi baru yang diperkenalkan segelintir orang ketika saya bertanya kenapa dibakar?

Ada yang menjawab “ini untuk merayakan kemarau panjang dan menyambut musim hujan dalam mempersiapkan lahan untuk bercocok tanam” yang dengan pemikiran dangkal yang ada di otak saya menerjemahkan “kami sedang membunuh ular-ular pemangsa tikus biar tahun ini kami gagal panen lagi karena hama tikus yang meningkat kehabisan pemangsa lalu kita bersama pihak-pihak lain bisa menanggung kesalahan bersama”.

Ada juga jawaban miris lain yang menyampaikan “kami melakukan pembakaran padang dengan sopan yaitu memisahkan lahan yang dibakar dan tidak dibakar” tapi tetap menggunakan api yang selalu merambat sekehendak angin yang bertiup. Padahal pak Bagus selaku kadis BLH Sumba Timur dalam setiap pertemuan tidak khusus selalu mengatakan “Api sangat berguna di dalam rumah tapi menjadi sangat berbahaya di luar rumah”.

Baca Juga:  Menyulam Kebangsaan Mempererat Kebhinekaan

Tapi yang sangat saya sayangkan adalah pembakaran padang dan lahan tanpa perhitungan ini menyebabkan simpul-simpul ternak mengalami kekurangan pakan dimana hari ini kuda , sapi dan kerbau dipadang mengalami gizi buruk yang didiagnosa dari badan, atau lebih pantas saya bilang tulang yang hanya berbalut kulit menjadi tontonan di padang bekas pembakaran.

Pembuatan silase atau pengawetan pakan sebenarnya bisa dilakukan hanya saja semisalnya mahasiswa peternakan tidak mendapat kepercayaan mengaplikasikan ilmunya atau memang mereka yang tidak mau berbagi kepada masyarakat bisa jadi kemampuan mereka juga tidak terpublikasi dengan baik padahal kita tidak kekurangan media, buktinya tulisan ini dapat anda baca saya pikir inilah alasan kenapa mahasiswa harus bisa menulis.

Selain gizi buruk kendala peternakan di pulau yang memiliki ikon kuda ini juga memiliki masalahnya sendiri yakni pencurian ternak yang sering terjadi seperti beberapa kali kasus serupa menjadi perbincangan utama dikalangan masyarakat umum. Selain pencurian ternak yang memiliki rating tinggi untuk menyumbang keadaan hari ini bahwa ternak berlari dengan bebas menjadi pemandangan yang jarang memanjakan mata, ada diposisi kedua adalah urusan adat kematian, perkawinan dan pesta yang selalu berhasil mengundang pertumpahan darah yang berceceran dari leher ternak yang diputus parang khusus yang sudah diasah dengan kalarat.

Ada satu lagi hal yang perlu kita kuatirkan ialah bahwa kuota ternak yang bisa di tentukan untuk ternak sapi dari pemerintah propinsi NTT yakni 3300 ekor yang jika dirata-ratakan maka 330 ekor/bulan namun hingga akhir Agustus sapi yang sudah dikeluarpulaukan mencapai angka 2451 jadi tersisa 841 ekor sapi untuk 4 bulan tersisa untuk dikeluarpulaukan sedangkan permintaan sapi dari luar meningkat menjelang Idul Adha tapi I WayanRudyasa yang merupakan penangung jawab Karantina Waingapu memaparkan kepada wartawan Waingapu.Com bahwa ia dan tim akan menjaga rekomendasi pemerintah propinsi NTT mengensi kuota ternak yang akan dikeluarpulaukan.

Baca Juga:  Sahabat Alam NTT dalam Mengawal Isu Lingkungan di NTT

Komitmen karantina waingapu ini menjadi angin segar ditengah banyak kekuatiran yang terselip dibenak penulis. Andai saja ternak dikeluarpulaukan secara berlebihan maka kebanyakan masyarakat Pambota Njara perlahan akan kehilangan mata pencahariannya. Jumlah ternak makin berkurang dengan kemarau panjang yang menyebabkan ternak mati berserakan karena biasanya air untuk masyarakatpun diputus pipanya oleh orang berlabel “Umbu Nai Rupiah”, belum lagi yang lain-lain dan titik.

Dan kekuatiran terbesar adalah bahwa langit akan tetap hitam saat anak cucu kita nanti menangis darah hanya untuk melihat kuda sandlewood dan sandlewood jika kita hanya selalu meninggalkan jejaknya untuk mereka, oh iya wangi sandlewood itu bagaimana ya? Entahlah… Wanginya melegenda tapi penulispun belum menghirupnya.

Untuk masalah ternak kita sudah punya Dinas Peternakan yang siap untuk itu tapi mereka butuh mitra yakni masyarakat yang harus mulai berpikir dengan berbasis solusi bukan mengeluh apalagi ujungnya selalu menempatkan pemerintah sebagai pihak yang disalahkan, dan juga penulis menghimbau bagi mahasiswa di Sumba Timur dan yang berkuliah di luar pulau dapat menyampaikan aspirasi bersifat realita berbasis data bukan hanya berasumsi yang bersifat provokatif yang hanya menguras tenaga dan pikiran.

Baca Juga:  Mahasiswa KKN 47 UMM Sosialisasi Door to Door tentang Kesiapan Pandemi COVID-19 di Desa Hamba Praing

Ternak di Sumba Timur juga butuh manejemen yang baik dan Disnak tentu butuh rekan yang tau masalah dilapangan yakni tenaga siap pakai yang ditempa melalui pendidikan ilmiah seperti tenaga dari perguruan tinggi melalui pendidikan akademik dan fokasi yang terbagi di dua perguruan tinggi di Sumba Timur yakni Unkriswina dan PDD Sumba Timur. Jadi bagi pemuda Sumba Timur jangan ragu untuk mengambil bidang ilmu peternakan karena tanah ini membutuhkan anda.

Untuk teman-teman yang merasa terlambat untuk mengambil bidang ilmu peternakan dan belum sempat mendaftarkan diri dimanapun masih tersisa satu perguruan tinggi di Sumba Timur yang baru mulai membuka penerimaan mahasiswa baru yakni PDD Sumba Timur.

“Orang yang patut bangga ketika orang membicarakan daerahnya adalah orang yang sanggup menjaga dan benar-benar mengenal ikon daerahnya tidak hanya tahu namanya apalagi hanya dalam rekapan sebuah legenda”.[*]

Penulis: Sepritus Tangaru Mahamu

Komentar