Laporan/pengaduan merupakan hal pertama yang biasanya dilakukan oleh para pencari keadilan yang merasa haknya dilanggar oleh
pihak lain. Hal ini biasanya dilakukan oleh pencari keadilan kepada Penegak Hukum (Kepolisian) untuk menindaklanjuti laporannya. Penindaklanjutan laporan ini bisa ada yang secara cepat ditanggapi oleh aparat dan/ atau adapula yang sangat sulit untuk sekali ditindaklanjuti. Jadi tergantung siapa orang yang melaporkan dan/atau aparat yang menerima laporan tersebut. Menjadi pertanyaan sekarang ini adalah apakah pelapor memiliki relasi yang baik atau tidak dengan aparat, dan juga apakah pelapor memiliki uang yang banyak atau tidak? Jikalau kedua hal ini dimiliki oleh pelapor, maka kemungkinan besar proses untuk ditindaklanjutinya laporan tersebut cepat dan lancar dilakukan. Jadi sangat memprihatinkan sekali memang perilaku oknum penegak hukum tersebut. Akan tetapi, jikalau itu tidak dimiliki oleh pelapor maka hal yang dihadapi oleh pelapor akan susah payah mencari tahu bagaimana perkembangan laporannya. Dan terkadang pula, jikalau pelapor tidak agresif mencari tahu perkembangan kasusnya maka yang terjadi ialah laporan tersebut akan menjadi suatu daftar penambahan urutan kasus yang terjadi pada wilayah kerjanya saja yang kemudian dari daftar urutan kasus yang dilaporkan tersebut akan menambah jumlah laporan indah yang dilaporkan oknum-oknum kepolisian kepada atasannya.
Kejadian ini menjadi lebih sangat rentan sekali terjadi pada wilayah polsek dikarenakan yang mengawasi pelaksanaan tersebut sangat minim bahkan sama sekali tidak ada. Sebagai contoh kasus yang baru saja terjadi saat ini ialah kasus pembunuhan yang sadis terhadap warga (Turu Rawambaku Rahing) terjadi di Desa Tawui pada tanggal 06 Februari 2016. Kasus ini merupakan akibat dari pengantungan laporan/ pengaduan yang dilakukan oleh Polsek Pinupahar. Sesungguhnya kasus ini sebelumnya telah dilakukan pelaporan/pengaduan oleh korban pembunuhan kepada Polsek Pinupahar, namun Polsek tidak sama-sekali meresponi laporan/pengaduan tersebut hingga yang melapor/mengadu dibunuh oleh terlapor yang menginginkan kematiannya. Pembunuhan ini berawal dari kasus tanah yang telah yang bergulir cukup lama. Yang dianyulir dari tahun 2009, 2010 sampai dengan tahun 2016. Penanganan kasus ini memang sudah sampai pada penegak hukum (yudikatif), pemerintahan eksekutif maupun ditangan legislatif. Akan tetapi tidak ada jalan penyelesaiannya sama sekali. Bahkan sangat disayangkan nasib pelapor/pengadu ketika belum mendapatkan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanahnya, nyawanya harus terenggut dengan tidak manusiawi. Namun pertanyaan sekarang, kemana lagi orang kecil harus mencari perlindungan jikalau nyawanya diancam, kalau Polisi saja yang semestinya harus menjadi tempat untuk mengadu/melaporkan adanya indikasi Pidana, tidak bisa diharapkan. Lalu harus kemana lagi masyarakat mencari keadilan? Oh sungguh malang nasibmu masyarakat kecil.
Sedangkan oknum aparat penegak hukum hanya berpihak pada orang yang berduit banyak dan memiliki hubungan yang baik dengan mereka. Lalu kemanakah masyarakat kecil mendapatkan perlindungan hukum? Jika kita menelaah pada aturan hukum positif yang berlaku, pembunuhan ini masuk dalam kategori pembunuhan yang dirercanakan serta dilakukan secara bersama seperti dirumuskan secara tegas dalam ketentuan Pasal 340 dan Pasal 339 dan 170 ayat 2 ke 3 KUHP, dan perencanaan yang disediakan oleh pelaku bersama anaknya, sebenarnya telah diketahui oleh aparat penegak hukum khususnya di Polsek Pinupahar akan tetapi sengaja dibiarkan sehingga terjadi pembunuhan sadis tersebut. Diketahuinya tindak pidana pengancaman pembunuhan ini oleh kepolisian sebenarnya dapat diukur dengan adanya laporan dugaan pengancaman dan pengrusakan sebagaimana dalam STPL/230/XII/ 2015/ NTT/Res ST yang dilaporkan oleh istri korban dan korban pada Polres Sumba Timur, kemudian dilimpahkan kembali oleh Polres ke Polsek Pinupahar akan tetapi begitu pelimpahan tersebut sampai ditangan polsek, tidak ada renponnya sama sekali sehingga sampai pada adanya pembunuhan itu.
Melihat kejadian ini, penulis beranggapan bahwa proses hukum untuk pelaku pembunuhan harus dilakukan secara maksimal oleh penegak hukum agar memberi jera kepada pelaku serta untuk memberikan kepastian hukum pula pada pencari keadilan. Dan kemudian untuk Penegak Hukum/ Aparat hukum yang mengabaikan laporan korban harus dipanggil dan diperiksa kemudian harus diberikan pula hukuman agar dapat memperbaiki kinerjanya dan/atau apabila yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi untuk itu alangkah baiknya oknum penegak hukum tersebut diberhentikan saja karena akan menjadi pemerkosa hukum di Negeri ini yang berlaku serta memberikan ketidak percayaan masyarakat pada penegak hukum.[*]
*] Umbu Hiwa Tanangunju, SH (Pengacara/ Advokat, Konsultan Hukum & Pengamat Hukum)