Tingkatkan Partisipasi Rakyat dalam Pemilu, Turunkan Angka Golput

oleh
oleh

Pengertian tentang partisipasi oleh banyak ahli biasanya didefenisikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu, yang bila dihubungkan dengan kepemiluan maka akan merupakan upaya peran serta masyarakat dalam kepemiluan. Istilah lain partisipasi yang sering digunakan adalah peran serta, keikutsertaan dan keterlibatan yang terwujud di dalam sikap gotong-royong. Dalam buku berjudul Gotong Royong (2020) oleh Widayati, apa yang dimaksud dengan gotong royong memiliki tujuan mencapai kepentingan bersama dan bisa meningkatkan rasa solidaritas.

Dalam makna yang sama Widiayanti dan Sunindha (1989) mengartikannya sebagai suatu usaha yang diselenggarakan secara bersama yang dapat diwujudkan dalam pengertian partisipasi. Lebih daripada iitu, Achmadi (1978) menambahkan bahwa partisipasi, masyarakat dalam bentuk swadaya gotong-royong merupakan modal utama. Sedangkan swadaya dalam pengertiannya sebagai kemampuan dari suatu kelompok masyarakat yang dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan iktihar pemenuhan kebutuhan.

Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, public policy. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti, memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan mengadakan pendekatan  atau hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya (Budiardjo, 2009).

Selama ini kegiatan partisipasi masyarakat masih dipahami sebagai upaya mobilitas masyarakat untuk kepentingan Pemerintah atau Negara. Padahal sebenarnya partisipasi idealnya masyarakat ikut serta dalam menentukan kebijakan Pemerintah yaitu bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah.

Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabil. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.

Di kebanyakan negara yang mempraktekkan demokrasi, pemilihan umumnya yang dilaksanakan secara periodik dalam tenggang waktu tertentu dianggap sebagai lambang, sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi dari negara tersebut. Pemilu dianggap sebagai indikator utama negara demokrasi, karena dalam Pemilu rakyat menggunakan suaranya, melaksanakan hak politiknya dan menentukan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Dalam berdemokrasi, keterlibatan masyarakat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara adalah sebuah keniscayaan (keharusan yang tidak bisa tidak). Rakyat menjadi faktor yang sangat penting dalam tatanan demokrasi, karena demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat (teori bahwa negara ada sebagai manivestasi kehendak Tuhan di muka bumi yang menjelma dalam aspirasi rakyat).

Baca Juga:  Pemilu 2019 Lebih dari 500 Warga Jadi Korban, Bagaimana 2024? Antara Harapan dan Tantangan

Tingginya partisipasi pemilih dapat dibaca sebagai penerimaan masyarakat atas penerapan sistem demokrasi di Indonesia dan harapan bagi terwujudnya kemajuan negara, sementara rendahnya partisipasi pemilih dapat menunjukkan bentuk ketidakpercayaan serta perilaku apatis masyarakat terhadap proses politik serta kehidupan bernegara.

Lebih jauh lagi, tingkat partisipasi pemilih juga dapat dijadikan barometer untuk mengukur beberapa hal, seperti menilai keberhasilan suatu pemilihan, menilai kesadaran politik rakyat/masyarakat, atau mengukur legitimasi peserta pemilihan yang menang.

Sesuatu yang tidak bisa dilepaskan ketika membahas tentang partisipasi adalah golput (golongan putih) untuk menyebut bagi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Fenomena golput ini ada di setiap pemilihan umum. Di hampir setiap pemilihan, jumlah golput akan dianggap sehat jika jumlah golput dalam kisaran angka 30 persen, meski banyak pemilihan jumlah golputnya melampaui titik itu, mencapai kisaran 40 persen bahkan ada yang lebih. Golput merupakan akumulasi sikap jenuh masyarakat terhadap seputar pemilu baik janji politik, money politic dan kekerasan politik dan kondisi-kondisi yang tak kunjung membaik (Soebagio, 2018).

Meminjam hasil penelitian Masitoh.dkk (2013) menyebutkan beberapa aspek terkait perilaku golput yaitu :

  1. Aspek teknis, dari hasil penelitian ini seseorang berperilaku golput dilihat dari adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih.
  2. Aspek politis, pada aspek politis perilaku golput mempunyai alasan seperti tidak percaya akan adanya perubahan yang lebih baik.
  3. Aspek identitas, jika dilihat dari aspek ini perilaku golput seseorang bisa dilihat dari agama , tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin dan lain-lain.

Jika dilihat dari aspek penyebab seseorang tidak menggunakan hak pilihnya juga terdapat beberapa faktor. Pertama faktor teknis; adanya kendala teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilihnya. Seperti pada hari pemungutan suara misalnya pemilih sedang sakit, ada kegiatan yang lain, ada diluar daerah, atau berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih tersebut. Termasuk kendala pekerjaan sehari-hari pemilih sehingga menghalanginnya untuk menggunakan hak pilihnya. Seperti misalkan warga Kabupaten Sumba Timur yang bekerja di luar negeri atau luar daerah (merantau) sehingga ketika ada pemilu tidak sempat ikut berpartisipasi. 

Kedua faktor politik; faktor ini adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan, ketidakpercayaan terhadap partai. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Beredarnya berita negatif yang menerpa para wakil rakyat, yang notabene adalah para politisi, sedikit banyak berpengaruh pada pandangan masyarakat terhadap pemilu.  Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan antipati masyarakat terhadap partai politik.

Baca Juga:  Gerakan PAUDisasi: Upaya bersama demi masa depan anak-anak Sumba

Ketiga faktor sosialisasi; Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka meminimalisir golput. Hal ini disebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala dusun, memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur,  pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Sehingga menuntut penyelenggara pemilu, peserta pemilu, serta seluruh stakehoolder untuk terus selalu menyebarluaskan informasi seputar pemilu secara masif.

Keempat faktor administrasi; faktor administrasi berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih dan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang terkadang membuat pemilih tidak ikut dalam pemilihan. Meskipun seorang dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan identitas diri, meskipun  belum tercatat dalam DPT dengan syarat hanya di alamat sesuai dengan KTP.  Menjadi persolan jika tidak mempunyai KTP.

Faktor lainnya yang tidak kalah menentukan adalah keakuratan data pemilih atau data kependudukan. Sebagaimana diketahui bahwa tingkat partisipasi diukur dengan melihat jumlah kehadiran pemilih dibandingkan dengan jumlah pemilih terdaftar. Jika validitas DPT rendah atau ada banyak data ganda, tidak valid maka otomatis banyak warga terdaftar yang tidak hadir. Terjadinya data ganda dalam DPT mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih.

Contohnya adalah warga Kecamatan Kanatang yang secara de jure masih tercatat sebagai warga Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur, tetapi sebenarnya yang bersangkutan sudah tidak lagi di Kanatang. Atau seorang warga Kanatang yang sudah pindah domisili tetapi tidak pernah memperbarui data kependudukannya. Ada warga yang memiliki dua identitas dan tinggal di dua wilayah berbeda dan terdaftar di dua tempat tersebut. Para petugas PPDP/Pantarlih juga tidak berani mencoret pemilih tersebut karena secara de jure tercatat, dan keluarga juga tidak merekomendasikan untuk dicoret.

Bahwa partisipasi dipengaruhi oleh keakuratan data kependudukan dapat dilihat dalam metode pendaftaran pemilih. Keakuratan data penduduk dengan pendaftaran pemilih secara de facto menghasilkan partisipasi yang lebih baik, dibanding dengan metode de jure. Dibawah ini adalah data tingkat partisipasi pemilih di 6 Pemilihan Terakhir baik Pilpres maupun Pilkada (2014-2020).

Grafik di atas menunjukkan tingkat partisipasi pemilih di 6 pemilihan terakhir di Indonesia yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan kepala daerah, dimana terdapat kenaikan tingkat partisipasi pemilih. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 menghasilkan partisipasi pemilih yang paling tinggi sebesar 81,9 persen, meningkat dari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 sebesar 69,6 persen. Begitu pula dalam pemilihan kepala daerah, di mana partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah tahun 2020 sebesar 76,9 persen, meningkat dari pemilihan kepala daerah tahun 2015 (70 persen), 2017 (74 persen), dan 2018 (73,2 persen). Meningkatnya partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah tahun 2020 yang mencapai 76,9 persen, menjawab keraguan sejumlah pihak karena pemilihan diselenggarakan pada masa pandemi COVID-19, sekaligus menunjukkan antusiasme masyarakat.

Baca Juga:  PSI Pastikan Tetap Ikut Pemilu di Jawa Tengah, Optimis akan Buat Kebun Mawar Baru

Menghadapi tahun 2024, penyelenggara pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serta pemerintah perlu mempertahankan tren peningkatan partisipasi pemilih pada pemilihan umum (semester I) dan pemilihan kepala daerah serentak (semester II). Hal tersebut mengingat jumlah calon yang dipilih pada pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 lebih banyak dari jumlah biasanya yang dipilih masyarakat. Jumlah calon yang banyak serta tahapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak yang panjang bukan tidak mungkin dapat menyebabkan kejenuhan bagi masyarakat.

Meminjam tulisan Muhamad Isnaini beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pertisipasi masyarakat.

1. Pendidikan Politik Rakyat

Motivasi memilih atau tidak memilih tersebut lebih cenderung pada kepentingan politik semata dengan mengabaikan hal-hal ini seperti pendidikan politik rakyat. Istilah pendidikan politik sering disamakan dengan istilah political socialization, yang secara harfiah bermakna sosialisasi politik. Dengan kata lain, sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit. Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.

2. Memaksimalkan Fungsi Partai Politik

Tujuan parpol adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan /mewujudkan program-program yang telah mereka susun sesuai dengan ideologi tertentu. Oleh karena itu maka untuk mencapai tujuannya tersebut maka partai politik memiliki fungsi. Menurut UU no 2 tahun 2008 bahwa partai poliitik berfungsi sebagai sarana:

  1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara indonesia yang sadar akkan hak dan kewajibanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.
  3. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
  4. Partisipasi warga negara indonesia.
  5. Rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaran dan keadilan gender.

Penulis : UMBU RENGGANG MARAMBAJAWA (Ketua PPK Kanatang)

Komentar