Revitalisasi Hukum Gender & Kebudayaan: Perempuan Sumba Melaju Maju Tanpa Menggeser Budaya

oleh
oleh
Rambu Hada Indah

Perlawanan terhadap ketidaksetaraan Gender serta kekerasan terhadap perempuan sudah ada sejak abad ke-18. Pada masa itu, ekonomi secara global bersifat agraris di sisi lain hal ini menunjukkan bahwa peranan laki-laki yang lebih menonjol secara universal berbanding terbalik dengan posisi perempuan yang hanya boleh tinggal dan bekerja di rumah. Pendidikan, sosial dan politik hanya bisa di nikmati oleh kaum laki-laki. Pada adab 18 perlahan muncul pertentangan dimana para perempuan mulai memberanikan diri memperjuangkan hak dan kedudukan mereka serta menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dengan laki-laki.

Saat itu, Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet merupakan tokoh awal yang memprakarsai lahirnya gerakan Feminisme sebagai upaya penolakan terhadap kasus penindasan dan pengekangan terhadap hak-hak perempuan di berbagai aspek kehidupan dan sosial masyarakat. Istilah feminisme sebenarnya di cetus oleh Charles Fourier di tahun 1837 yang kemudian dipopulerkan dengan adanya publikasi buku berjudul The Subjection of Women oleh John Stuart Mill pada tahun 1869. Salah satu gerakan feminisme yang terkenal adalah gerakan feminisme Radikal, feminism ini menilai bahwa sistem partrilianisme terbentuk oleh aturan bawaan, pengaruh kekuasaan, dominasi dan hirarki.

Baca Juga:  Pelaku Industri Wisata Harus Menghormati Kearifan Lokal Masyarakat Sumba

Benar adanya pengaruh parthiarki mengakar kuat bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan budaya, namun pengaruh peradaban dan kebiasaan masih bisa diubah dengan pendidikan. Penolakan terhadap budaya untuk menyetarakan peran politik social perempuan dan laki-laki bukan dengan cara menolak kehadiran budaya. Lebih dari itu, perubahan pola pikir, penolakan terhadap pengembangan diri serta keterbukaan terhadap perubahan juga merupakan salah satu pengaruh yang kuat perempuan berada pada tirai ketidaksetaraan. Salah satu contoh pola pikir terhadap pengembangan diri yang bisa menjebak perempuan terhadap kesetaraan adalah keterbatasaan pola pikir, menganggap diri lemah, terjebak dengan kata pasrah terhadap keadaan.

Perempuan Sumba mampu hidup berdampingan dengan budaya dan hidup dengan melestarikan budaya sebagai mata pencaharian salah satunya menenun. Perempuan Sumba dapat menenun cita-cita dan masa depan dengan upaya pendidikan. Perempuan seharusnya bisa menjadi role mode bagi sesama perempuan. Perempuan Sumba mampu menolak ketidaksetaraan,pelecehan, menolak poligami, diskriminasi juga bully lewat Pendidikan. Pendidikan juga mampu mengantarkan perempuan Sumba untuk lebih berkembang serta mematikan keterbatasan pola pikir kuno.[*]

Baca Juga:  Hingga Januari 2018, Penganut Marapu Di Sumba Timursebanyak 18. 414 Jiwa

Penulis: Rambu H. Indah, S.H., M.Hum, Pengajar Hukum dan Gender di Universitas Kristen Wirawaca Sumba

Komentar