TATA CARA BERPOLITIK DI INDONESIA HARUS BELAJAR DARI ETIKA BUDAYA PASOLA

oleh
oleh
Rudyolof Imanuel Malo Pinda. S.Sos

Setiap tahun masyarakat di pulau Sumba selalu merayakan acara adat pasola, pasola yang selalu jatuh pada bulan Februari-Maret ini seolah-olah sudah menjadi bagian bagi masyarakat Sumba, khususnya bagi masyarakat Sumba yang tinggal di 4 desa yakni Lamboya, Wanokaka, Gaura dan Kodi. Ke 4 desa tersebut terletak di 2 kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Pasola sendiri dibuat untuk mengenang jasa para leluhur Sumba, serta masyarakat berkeyakinan dengan adanya acara budaya pasola dapat memajukan sektor pertanian warga.

Pasola juga sudah menjadi daya pikat bagi para wisatawan yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Para penonton disajikan perang sungguhan terjadi ketika acara pasola berlangsung, yang di mana para pemain pasola menunggak kuda serta saling melempar tombak kepada lawanya.

Penulis sendiri berkesempatan melihat langsung budaya pasola yang terdapat di Desa Lamboya, Sumba Barat, pada bulan Februari 2018. Penulis melakukan riset kecil-kecilan dan penulis menemukan data atau informasi bahwa walaupun terkesan menakutkan dan berbahaya budaya pasola sendiri mempunyai beberapa aturan dan etika dalam pertandingan yang harus dipatuhi oleh semua para kesatria pemain pasola, aturan tersebut antara lain: yang pertama tidak boleh adanya dendam ketika acara budaya pasola selesai, perang atau perkelahian antar pemain penunggang kuda tidak diperbolehkan lagi berlangsung ketika pertandingan budaya Pasola sudah selesai, atau tidak boleh adanya dendam lagi, dendam bisa dibalas ketika acara budaya Pasola berlangsung lagi pada tahun berikutnya. Aturan yang kedua, para pemain budaya Pasola hanya boleh melempar pemain pasola atau musuhnya yang menunggang kuda, ketika musuhnya jatuh dari kuda atau tidak menunggang kuda, para pemain pasola lainya dilarang keras untuk melempar musuh atau lawanya.

Baca Juga:  Catatan Kritis FP2ST: Anggaran Miliaran, Pembangunan Irigasi D.I. Mata Desa Wanga Mubazir

Menurut hemat penulis, budaya pasola sendiri bukan saja hanya menyajikan perang sungguhan yang menarik, tapi ada suatu makna atau etika yang dapat diambil oleh masyarakat Indonesia dan Sumba pada umumnya dari Pasola. Pasola sendiri mengajarkan tidak boleh adanya dendam lagi ketika pertandingan berlangsung, setelah pertandingan selesai yang kalah harus mengakui lawannya yang menang, dan hidup harmonis kembali dalam kehidupan sehari-hari.

Politik dan Budaya Pasola

Politik Indonesia dan Sumba pada umumnya selalu dipertontonkan dengan drama-drama adanya rasa tidak puas, ketika suatu sistem demokrasi berupa pemilu telah selesai. Selalu juga adanya aksi-aksi kecurangan dalam sistem demokrasi, mulai dari ujaran kebencian, politik bernuansa SARA, jual beli suara pemilu dan lain sebaginya, yang tentunya kita sebagai masyarakat Indonesia sudah sangat bosan melihat para pemimpin Indonesia yang selalu menjalankan politik yang kotor. Selain itu juga selalu adnya perkelahian dan konflik antar yang menang dan yang kalah, seolah-olah kerja pemerintahan Indonesia selama 5 tahun hanya mengurusi konflik rasa tidak puas atas sistem demokrasi yang telah berlangsung, dan seolah-olah juga kerja dari para oposisi pemerintah hanya mengkritisi tentang demokarasi yang dianggap adanya kecurangan, sehingga tugas-tugas pokok negara untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia selalu tidak memenuhi target.

Baca Juga:  Praingu Lewa Paku Kembali Menata Diri (2)

Jika sudah terjadi konflik antar pemangku kepentingan rakyat selalu menjadi korban, banyak masyarakat yang selalu terprovokasi akan isu-isu yang kebenaranya masih sangat diragukan, akibatnya timbul konflik antar suku, agama, ras dan antar golongan, yang tentu kerugiannya sangat menyusahkan masyarakat.

Akhirnya penulis sampai pada sebuah konkullusi dari tulisan ini, penulis menawarkan para politisi dan pemangku kepentingan seharusnya meniru atau belajar dari aturan-aturan yang terdapat pada budaya Pasola, bahwa tidak boleh adanya dendam lagi atau permusuhan setelah perang terjadi. Sistem demokrasi di Indonesia sudah sangat bagus yang di mana para calon Presiden, Gubernur, Bupati dan legislatif sudah diberikan arena 5 tahun sekali untuk bertarung merebut hati rakyat, ibarat budaya Pasola juga sudah diberi arena untuk bertarung, namun yang terjadi dalam demokrasi pemilihan Indonesia selalu terjadi perkelahian saat demokrasi pemilihan umum telah selesai.

Baca Juga:  Pilkades Lai Hau: Muncul DPT Fiktif, Antara Domokrasi Dan Kepentingan

Setelah selesai pemilu sebaiknya tidak boleh lagi ada dendam, yang menang harus merangkul yang kalah, dan yang kalah yang harus mengakui kemenangan yang menang, seperti halnya juga dalam budaya pasola tidak ada lagi dendam setelah pertandingan berlangsung. Masyarakat kembali hidup rukun dan mulai fokus pada pekerjaan masing-masing.

Mari kita belajar dari budaya pasola ini, yang mengajarkan tidak boleh adanya dendam setelah pertandingan selesai. Sudah seharusnya para pemangku kepentingan dan aktor politik di Indonesia secara khusus Sumba mau hidup damai dan rukun setelah pertandingan demokrasi selesasai. Politisi atau pemerinta harus melihat kekuasaan adalah sebagai dasar untuk melayani masyarakat, bukan untuk mendominasi, maka dalam perjuangan kekuasaan mereka membantu memanusiakan persaingan yang mematikan dan mempromosikan penghormatan dan penghargaan pada orang lain, mediasi, pengertian dan perdamaian (Hans Kung, 2002:l34)

Berdasarkan pemikiran tersebut, etika menjadi tantangan bagi politisi, perlunya etika politik sebagai pengendalian kekuasaaan politik dan penyalahgunaan kekuasaan oleh institusi sebagai masalah fundamental dari teori-teori negara.

Penulis: Rudyolof Imanuel Malo Pinda. S.Sos
Aktifis Stube Sumba

Komentar